Personalitas Yuridik Organisasi Internasional (Studi Kasus Reparation for Injuries Case 1949)

I. PENDAHULUAN
Pada abad ke-19, negara masih merupakan entitas/aktor utama dalam setiap hubungan internasional, khususnya hukum internasional. Fakta ini diperkuat oleh argumen Oppenheim yang mengatakan bahwa “Hukum antar bangsa dibuat oleh persetujuan bersama diantara negara-negara, dan bukan oleh individu perseorangan, sehingga negara merupakan subyek hukum internasional yang utama”.[1] Berdasarkan hal inilah para analis kebijakan luar negeri seringkali mengenyampingkan aktor non-negara (non-state actors) dalam setiap kajiannya.[2] Menurut mereka, aktor dalam kebijakan luar negeri haruslah memiliki kemampuan hukum yang berdaulat, dan hanya negara yang memiliki hal tersebut.[3] Seiring dengan berkembangnya peta politik dunia, pergeseran terhadap paradigma negara-sentris tidak dapat dihindari lagi, karena peranan aktor non-negara dalam politik internasional menjadi hal yang sangat fundamental. Beberapa aktor non-negara yang muncul menjadi kekuatan politik internasional antara lain :

  1. organisasi - organisasi internasional : antar-pemerintah (intergovernmental organizations); non-pemerintah (non-governmental organizations atau NGOs)
  2. perusahaan–perusahaan multinasional (multinational corporations / MNCs)
  3. Individu
  4. Belligerensi / Insurgensi.

Dari kelima aktor non-negara tersebut, hanya organisasi internasional antar-pemerintah (yang selanjutnya akan disebut dengan organisasi internasional); individu; dan beligerensi/insurgensi yang dapat disebut sebagai subyek hukum internasional. NGOs dan TNCs/MNCs tidak termasuk ke dalam subyek hukum internasional, karena tidak terikat atau tidak memiliki hak dan kewajiban berdasarkan hukum internasional, dan pada dasarnya NGOs dan TNCs/MNCs didirikan berdasarkan hukum nasional dan tunduk kepada hukum nasional.

II. ORGANISASI INTERNASIONAL

2.1. Sejarah dan Perkembangan Organisasi Internasional
Tata urutan subyek hukum internasional disesuaikan dengan kewenangan yang dimilikinya. Pada tingkat paling atas terdapat negara yang mempunyai wewenang internasional secara penuh karena statusnya sebagai subyek asli hukum internasional semenjak abad ke-16.[4] Selanjutnya menyusul organisasi-organisasi antar pemerintah atau organisasi-organisasi internasional yang mempunyai wewenang-wewenang khusus.[5] Organisasi internasional ditempatkan setelah negara dengan alasan bahwa organisasi internasional hanya memiliki hak dan kewajiban menurut hukum internasional dalam hal tertentu.[6]

Pertumbuhan organisasi internasional telah dimulai sejak abad pertengahan.[7] Organisasi international paling awal yang dapat teridentifikasi adalah Holly Alliance yang didirikan oleh negara-negara Eropa, antara lain Austria; Prusia; dan Rusia, untuk menghadapi kekuasaan Napoleon. Setelah Holly Alliance, kemudian bermunculan organisasi internasional lain seperti :[8]

  1. Geodetic Union pada tahun 1864;
  2. International Telegraph Union (1865) yang merupakan pendahulu International Telecommunication Union;
  3. Universal Postal Union (1874);
  4. Berne Bureau for the Protection of Literary and Artistic Works (1886); dan lainnya.

Yang tidak mungkin dikesampingkan adalah munculnya League of Nations (Liga Bangsa-Bangsa/LBB) pada tahun 1919, yang kemudian diteruskan oleh United Nations (Perserikatan Bangsa-Bangsa/PBB) pada tahun 1945. PBB kemudian menjadi organisasi internasional yang paling besar dalam sejarah pertumbuhan kerjasama semua bangsa di dunia di dalam berbagai sektor kehidupan internasional.[9]

Meskipun telah muncul sejak lama, belum ada kesepakatan mengenai definisi dari organisasi internasional. Namun menurut Sumaryo Suryokusumo, organisasi internasional dapat didefinisikan sebagai :

“himpunan negara-negara yang terikat dalam suatu perjanjian internasional yang dilengkapi anggaran dasar sebagai instrumen pokok (constituent instrument) dan mempunyai personalitas yuridik.”

Sementara menurut D.W. Bowett, organisasi internasional didefinisikan sebagai :

“…they were permanent association of governments, or administration (i.e. postal or railway administration), based upon a treaty of a multilateral rather than a bilateral type and with some definite criterion of purpose”.

2.2. Aspek-aspek dalam Pembentukan Organisasi Internasional
Dalam pembentukan suatu organisasi internasional, maka ada empat aspek yang menjadi faktor terpenting. Keempat aspek tersebut adalah : aspek filosofis; aspek hukum; aspek administratif; aspek struktural.

1. Aspek filosofis merupakan aspek pembentukan organisasi internasional yang berkenaan dengan falsafah atau tema-tema pokok suatu organisasi internasional. Misalnya :
a. Tema keagamaan, seperti Organisasi Konferensi Islam (OKI); Moslem Brotherhood.
b. Tema perdamaian, seperti Association of South East Asian Nations (ASEAN); PBB;
c. Tema penentuan nasib sendiri (the right of self-determination) seperti Organization of African Unity (OAU)
d. Tema kerjasama ekonomi, seperti Asian Pacific Economic Cooperation (APEC); Organization of Petroleum Exporting Countries (OPEC).

2. Aspek hukum adalah aspek yang berkenaan dengan permasalahan-permasalahan konstitusional dan prosedural, misalnya :[10]
a. Diperlukannya constituent instrument, seperti covenant; charter; statute; dan lainnya, yang memuat prinsip-prinsip dan tujuan, struktur maupun cara organisasi itu bekerja.
b. Dapat bertindak sebagai pembuat hukum, yang menciptakan prinsip-prinsip hukum internasional dalam berbagai instrumen hukum (treaty-making powers).
c. Mempunyai personalitas dan kemampuan hukum.

3. Aspek administratif adalah aspek yang berkenaan dengan administrasi internasional, misalnya :
a. Adanya sekretariat tetap atau permanent headquarter yang pendiriannya dibuat melalui headquarter agreement dengan negara tuan rumah.
b. Adanya pejabat sipil internasional atau international civil servants.
c. Mempunyai anggaran atau budgeting yang diatur secara proporsional.

4. Aspek struktural adalah aspek yang berkenaan dengan permasalahaan kelembagaan yang dimiliki oleh organisasi internasional tersebut, misalnya sebuah organisasi internasional harus memiliki :
a. Principal organs;
b. Subsidiary organs;
c. Commissions / committee;
d. Sub-commissions;
e. Sub-committee;

III. Personalitas Yuridik Organisasi Internasional
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, salah satu aspek pendirian organisasi internasional adalah aspek hukum, dan personalitas hukum/yuridik termasuk dalam aspek tersebut. Personalitas hukum yang dimiliki oleh organisasi internasional adalah mutlak penting guna memungkinan organisasi internasional itu dapat berfungsi dalam hubungan internasional, khusunya kapasitas dalam melaksanakan fungsi hukum seperti membuat kontrak, membuat perjanjian dengan suatu negara atau mengahukan tuntutan dengan negara lainnya.[11] Personalitas yuridik yang dimiliki oleh sebuah organisasi internasional tidak akan hilang meskipun tidak dicantumkan dalam instrumen pokok pendirian organisasi internasional tersebut.

PBB sendiri tidak mencantumkan secara khusus mengenai personalitas yuridik yang dimilikinya. Piagam PBB hanya memuat mengenai personalitas yuridik yang dimiliki oleh PBB dalam pasal 104, yaitu : “The Organization shall enjoy in the territory of each of its Members such legal capacity as may be necessary for the exercise of its functions and the fulfilment of its purposes.”

Personalitas yuridik yang dimiliki oleh organisasi internasional dapat dibedakan menjadi dua pengertian, yaitu personalitas yuridik dalam kaitannya dengan hukum nasional, dan personalitas yuridik dalam kaitannya dengan hukum internasional.[12]

  1. Personalitas yuridik dalam kaitannya dengan hukum nasional dapat dilihat khususnya apabila sebuah organisasi internasional akan mendirikan sekretariat tetap ataupun markas besar organisasi tersebut melalui headquarters agreement. Contohnya, headquarters agreement yang dibuat oleh PBB dengan Amerika Serikat, Belanda, Swiss, dan Austria; ASEAN dengan Indonesia. Pada umumnya headquarters agreement mengatur mengenai keistimewaan dan kekebalan diplomatik yang dimiliki oleh pejabat sipil internasional, pembebasan pajak, dan lainnya
  2. Personalitas yuridik dalam kaitannya dengan hukum internasional dapat diartikan bahwa organisasi internasional memiliki hak dan kewajiban berdasarkan hukum internasional. Hak dan kewajiban ini antara lain mempunyai wewenang untuk menuntut dan dituntut di depan pengadilan, memperoleh dan memiliki benda-benda bergerak, mempunyai kekebalan (immunity), dan hak-hak istimewa (privileges). Permasalahan mengenai personalitas yuridik yang dimiliki oleh organisasi internasional, pertama kali mencuat pada kasus Reparation for Injuries Suffered in the Service of the United Nations (Reparation for Injuries Case). Dengan munculnya kasus ini, personalitas yuridik yang dimiliki oleh organisasi internasional menjadi tidak diragukan lagi.

IV. Studi Kasus Reparation for Injuries Case
Reparation for Injuries Case merupakan kasus yang melahirkan penegasan terhadap personalitas yuridik organisasi internasional. Kasus ini terjadi pada tahun 1948 dan kemudian Mahkamah Internasional (International Court of Justice/ICJ) memberikan advisory opinion pada tahun 1949. Dengan adanya kasus ini, organisasi internasional yang ada di dunia mendapatkan penegasan mengenai status yuridiknya. Meskipun sebenarnya status yuridik dari organisasi internasional telah ada, namun sampai sebelum adanya kasus ini, masih belum ada kepastian hukum mengenai bisa atau tidaknya sebuah organisasi internasional untuk bisa berperkara sebagaimana layaknya subyek hukum internasional lainnya. ICJ telah membuat suatu terobosan hukum dengan mengeluarkan advisory opinion berkenaan dengan kasus ini.

4.1. Ringkasan Kasus
Pada tahun 1948, tepatnya tanggal 17 September, seorang mediator PBB bernama Count Folke Bernadotte dan ajudannya Kolonel Serot, terbunuh dalam perjalanan dinas ke Yerusalem. Mereka dibunuh oleh anggota dari kelompok Lehi, yang terkadang disebut dengan “Stern Gang”. Kelompok ini merupakan organisasi radikal zionis yang telah melakukan beberapa serangan terhadap warga Inggris dan Arab. Pembunuhan terhadap Bernadotte ini, telah disepakati oleh ketiga pemimpin kelompok Lehi, yaitu : Yitzhak Shamir, Natan Yelli-Mor, dan Yisrael Eldad, dan direncanakan oleh kepala operasi Lehi di Yerusalem, Yehoshua Zetler.

Empat orang yang dipimpin oleh Meshulam Makover, kemudian menyerang kendaraan yang ditumpangi oleh Bernadotte, dan salah satu diantara mereka yaitu Yehoshua Cohen menembak Bernadotte.

4.2. Fakta Hukum
Dari kasus tersebut, terdapat empat permasalahan hukum yang muncul :

  1. Count Folke Bernadotte adalah pejabat sipil internasional yang bekerja untuk PBB
  2. Count Folke Bernadotte adalah warga negara Swedia
  3. Pembunuh Bernadotte, Yehoshua Cohen, adalah warga negara Israel
  4. Pembunuhan terhadap Bernadotte terjadi di wilayah pengawasan Israel.

4.3. Permasalahan Hukum
Berkenaan dengan kasus di atas, Sekjen PBB Trygve Lie mempersiapkan memorandum, dan disampaikan pada Sidang Majelis Umum PBB pada tahun 1948. Memorandum tersebut berisi 3 permasalahan pokok :[13]

  1. Apakah suatu negara mempunyai tanggung jawab terhadap PBB atas musibah atau kematian dari salah seorang pejabatnya?
  2. Kebijaksanaan secara umum mengenai kerusakan dan usaha-usaha untuk mendapatkan ganti rugi
  3. Cara-cara yang akan ditempuh untuk penyampaian dan penyelesaian mengenai tuntutan-tuntutan.

Setelah mendengarkan memorandum dari Sekjen PBB, Majelis Umum kemudian meminta pendapat dari ICJ, dengan mengajukan permasalahan hukum sebagai berikut :[14]

1. Apakah PBB sebagai sebuah organisasi mempunyai kapasitas untuk dapat mengajukan gugatan terhadap pemerintah de jure maupun de facto untuk mendapatkan ganti rugi atas kerugian yang dialami oleh :
a. PBB;
b. Korban atau orang-orang yang menerima dampak dari kejadian yang menimpa korban.

2. Apabila pertanyaan 1(b) dapat diterima, apakah tindakan yang harus dilakukan PBB untuk mengembalikan hak Negara tempat korban menjadi warganya ?

4.4. Putusan ICJ
Terhadap permasalahan hukum yang diajukan oleh Majelis Umum, ICJ memberikan jawaban sebagai berikut :

  1. Untuk pertanyaan 1(a), ICJ secara mutlak sepakat bahwa PBB dapat melakukan hal tersebut
  2. Untuk pertanyaan 1(b), ICJ memberikan pendapat dengan 11 suara melawan 4 bahwa PBB dapat mengajukan gugatan meskipun pemerintah yang diminta pertanggungjawabannya bukanlah anggota PBB
  3. Untuk pertanyaan 2, ICJ memberikan pendapat dengan 10 suara melawan 5 bahwa apabila PBB membawa gugatan karena kerugian yang dialami pejabatnya, tindakan tersebut hanya dapat dilakukan apabila gugatannya didasarkan pada pelanggaran kewajiban kepada PBB.

4.5. Analisa Kasus
ICJ menganggap bahwa personalitas yuridik dari organisasi internasional merupakan sifat yang mutlak dimiliki oleh setiap organisasi internasional.[15] Disamping itu, organisasi internasional memiliki personalitas internasional sebagai hak, yang merupakan suaru konsekuensi dari dasar pembentukan organisasi itu yang berada di bawah hukum internasional.[16] Personalitas yuridik organisasi tersebut memungkinkannya untuk melakukan tindakan-tindakan internasional, bahkan bagi negara-negara yang belum diketahui sebelumnya di dalam instrumen pokoknya.[17]

Kesimpulan
Berdasarkan sejarah perkembangan dan preseden yang telah terjadi berkenaan dengan organisasi internasional, maka kedudukan organisasi internasional sebagai subyek hukum internasional tidak lagi dapat dikesampingkan. Dengan adanya Reparation for Injuries Case, organisasi internasional mempunyai personalitas yuridik yang tidak berbeda dengan negara. Namun dalam konteks ICJ, organisasi internasional belum bisa merubah Statute of International Court of Justice yang hanya memperbolehkan negara menjadi pihak yang bersengketa dalam ICJ.

Terlepas dari masalah tersebut, organisasi internasional telah menjadi salah satu non-state actors yang dapat mempengaruhi berjalannya interaksi diantara masyarakat internasional. Khususnya pengaruh organisasi internasional dalam fungsinya sebagai pembuat hukum (quasi-legislative) internasional.



[1] Peter Malanczuk, Akehurst’s Modern Introduction to International Law, Seventh Revised Edition, Routledge, London, 1997, hlm. 91. Teks asli berbunyi : “Since the law of nations is based on the common consent of individual States, and not of individual human beings, States solely and exclusively are subjects on international law.”

[2] Bahgat Korany & Ali E. Hillal Dessouki (et.al), The Foreign Policies of Arab States The Challenge of Change, Second Edition, Westview Press, United States of America, hlm. 260.

[3] Ibid.

[4] Boer Mauna, Hukum Internasional Pengertian Peranan dan Fungsi dalam Era Dinamika Global, Penerbit Alumni, Bandung, 2003, hlm. 58.

[5] Ibid.

[6] Peter Malanczuk, op.cit., hlm. 92.

[7] Sri Setianingsih Suwardi, Hukum Organisasi Internasional, UI Press, Jakarta, 2004, hlm.3

[8] Peter Malanczuk, op.cit., hlm.22.

[9] Sumaryo Suryokusumo, Organisasi Internasional, UI Press, Jakarta, 1987, hlm.1

[10] Sumaryo Suryokusumo, Hukum Organisasi Internasional, UI Press, Jakarta, 1990, hlm. 11.

[11] Ibid, hlm. 110.

[12] Ibid., hlm. 113.

[13] Ibid., hlm. 121.

[14] International Court of Justice Case Summaries, Reparation for Injuries Suffered in the Services of the United Nations.

[15] Sumaryo Suryokusumo, op.cit., hlm.127

[16] Ibid, hlm. 128.

[17] Ibid.



DAFTAR PUSTAKA

Boer Mauna, Hukum Internasional Pengertian Peranan dan Fungsi dalam Era Dinamika Global, Penerbit Alumni, Bandung, 2003.

Korany, Bahgat & Ali E. Hillal Dessouki (et.al), The Foreign Policies of Arab States The Challenge of Change, Westview Press, United States of America, 1991.

Malanczuk, Peter, Akehurst’s Modern Introduction to International Law, Seventh Revised Edition, Routledge, London, 1997.

Sri Setianingsih Suwardi, Hukum Organisasi Internasional, UI Press, Jakarta, 2004.

Sumaryo Suryokusumo, Hukum Organisasi Internasional, UI Press, Jakarta, 1990.

___________________, Organisasi Internasional, UI Press, Jakarta, 1987.

Comments

  1. A Great and resourceful reading. Thank you Pirhot

    Sahari Ganie Banda Aceh

    ReplyDelete

Post a Comment