Peranan PBB dalam Penyelesaian Konflik Palestina - Israel

I. Pendahuluan
Hukum internasional bukanlah sebuah rejim hukum yang mempunyai lembaga-lembaga yang rigid. Berbeda dengan rejim hukum nasional, yang mempunyai lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif, rejim hukum internasional tidaklah memiliki konsep separation of powers. Hukum internasional dipraktikkan dengan pemahaman koordinatif, yang mengutamakan kedaulatan masing-masing negara. Tanpa adanya lembaga yang bertugas untuk melaksanakan law enforcement, hukum internasional sering dikatakan bukan merupakan suatu hukum. Terlepas dari itu semua, masyarakat internasional tetap mengakui eksistensi hukum internasional dalam mengatur interaksi antara subyek hukum internasional.

Tidak bisa dipungkiri, hukum internasional saat ini sebagian besar direpresentasikan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). PBB merupakan organisasi antar-pemerintah yang mempunyai anggota paling besar, dan juga memiliki cakupan sektor pembahasan yang paling luas jika dibandingkan dengan organisasi internasional lain yang lebih cenderung memfokuskan diri kepada salah satu sektor saja (ekonomi, solidaritas Islam, regionalisme, dan lainnya). PBB pun didirikan dengan berdasarkan kepada hukum internasional, dapat dilihat dari dokumen hukum yang menjadi landasan berdirinya PBB, sistem koordinatif yang dianut oleh PBB, dan berbagai konsep lain yang dianut oleh PBB. Hukum internasional yang direpresentasikan oleh PBB dapat dilihat melalui kebiasaan-kebiasaan dalam PBB, dan juga resolusi-resolusi yang dihasilkan oleh badan-badan utama PBB. Resolusi PBB, meskipun beberapa diantaranya tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat, tetap dianggap sebagai salah satu sumber hukum internasional dan diterima oleh negara-negara. Fakta bahwa PBB lebih merupakan sebuah organisasi politis ketimbang sebagai law-maker dalam rejim hukum internasional, tidak mengenyampingkan peranannya dalam perkembangan hukum internasional.

Kehadiran hukum internasional dalam hubungan antar negara, pada awalnya diharapkan mampu hadir sebagai pemecah kebuntuan bagi memberikan keadilan bagi permasalahan-permasalahan yang muncul dalam konteks masyarakat internasional. Namun pad perkembangannya, tidak jarang hukum internasional justru dibuat tidak berdaya dihadapan kepentingan negara-negara besar. Dalam berbagai konflik yang telah hadir di ranah hubungan internasional, negara-negara adidaya tidak pernah meluputkan sedikit kesempatan pun untuk menanamkan pengaruhnya diantara pihak-pihak yang sedang berkonflik. Kubu Barat dan Timur selalu menjadi dua dunia yang berusaha untuk menyebarkan pahamnya di berbagai belahan dunia.

Selama terjadinya Perang Dingin antara Barat yang dipimpin Amerika Serikat (AS) dan Timur yang dipimpin Uni Sovyet, kedua negara tersebut berusaha untuk menyebarkan „isme“-nya baik secara langsung maupun tidak langsung dalam sebuah konflik, khususnya konflik bersenjata. Beberapa perang yang telah menjadi bukti pertarungan kedua kubu tersebut antara lain :

1. Perang Vietnam. Berlangsung pada tahun 1959-1975. Peperangan ini terjadi antara Vietnam Utara, yang berbasis komunis dan Vietnam Selatan yang anti-komunis. Dalam periode tersebut, Perang Dingin antara Blok Timur dan Barat sedang berlangsung. Blok Timur mendukung pemerintahan Vietnam Utara, dan Blok Barat mendukung Vietnam Selatan.

2. Perang Korea. Berlangsung pada tahun 1950-1953. Perang ini dapat dikatakan sebagai perang saudara, meskipun banyak pihak yang terlibat secara tidak langsung didalamnya. Korea Utara, yang berbasis komunis, berusaha untuk menyatukan semenanjung Korea ke dalam satu pemerintahan tunggal, yang telah terpisah semenjak tahun 1948. Korea Utara didukung oleh Uni Sovyet, sementara Korea Selatan didukung oleh AS dan sekutunya.

3. Perang Afghanistan. Salah satu perang di Afghanistan yang melibatkan kekuatan Blok Barat dan Blok Timur yang berlangsung antara tahun 1979-1989. Uni Sovyet membantu pemerintahan Afghanistan yang berideologikan Marxis untuk menumpas gerakan pemberontak Mujahidin yang didukung oleh AS dan negara-negara Islam lainnya.

Ketiga perang tersebut menjadi sedikit bukti bagi usaha penyebaran ideologi bagi kedua kubu tersebut. Hukum internasional pun dibuat tidak berdaya untuk melawannya. Melalui PBB, hukum internasional hanya lahir sebagai resolusi-resolusi “mandul“ yang tidak sanggup untuk memberikan penyelesaian bagi konflik yang sedang berlangsung. Perang Dingin akhirnya berakhir, yang ditandai dengan bubarnya Uni Sovyet dan runtuhnya Tembok Berlin. Pembubaran Uni Sovyet secara otomatis menjadikan AS sebagai satu-satunya negara adidaya yang tersisa. Pada saat ini, Rusia sebagai pewaris kedigdayaan politik Uni Sovyet, tidak mampu berbuat banyak dihadapan AS. Dalam beberapa hal, khususnya dalam masalah separatisme di Georgia dan Chechnya, Rusia masih dapat bersikap untuk melawan hegemoni AS dalam masalah keamanan dunia. Sementara PBB tidak dapat berbuat banyak kepada AS, yang telah menyumbangkan sekitar 24% pada anggaran belanjanya.

Berhadapan dengan AS, PBB seakan-akan hanya menjadi sebuah organisasi internasional yang melegitimasi kepentingan AS. Standar ganda yang diterapkan oleh AS, ditambah kekuatan veto dalam Dewan Keamanan PBB, telah menjadikan AS sebagai negara yang tidak terkontrol untuk menyebarluaskan pahamnya. Pada tahun 2003, ketika AS memutuskan untuk mengagresi Irak dengan alasan kepemilikan Irak terhadap senjata pemusnah massal, PBB tidak mengeluarkan resolusi yang melarang AS untuk melakukan agresi tersebut. Sementara ketika Iran dikenakan sanksi karena melakukan pengayaan uranium, meskipun pengayaan tersebut belum terbukti untuk membuat senjata nuklir.

Konflik antara Palestina dan Israel pada saat ini memang tidak lagi melibatkan dua negara adidaya, namun persaingan antara kedua negara adidaya sempat terjadi dalam konflik ini. Rusia hanya berperan „kecil“ pada saat ini dalam menyelesaikan konflik Palestina-Israel. Keterlibatannya hanya sebatas pada The Quartet for the Middle East, yaitu koalisi antara PBB-Uni Eropa-AS-Rusia untuk menyelesaikan permasalahan di Timur Tengah. Sementara peran AS lebih dari sekedar keikutsertaannya dalam Kuartet. Melalui berbagai konferensi internasional yang digagasnya untuk mendamaikan kawasan Timur Tengah, AS berperan sebagai polisi dunia yang seakan-akan berhak untuk mengatur relasi antar negara. Sementara itu, PBB telah berulangkali mengeluarkan resolusi-resolusi yang berkaitan dengan permasalahan kawasan Timur Tengah, khususnya konflik Palestina-Israel. Tetapi resolusi-resolusi tersebut hanyalah menjadi tumpukan dokumentasi semata dalam kronik perjalanan konflik Palestina-Israel.

Tulisan ini akan membahas peranan PBB dalam dua wacana dari sekian banyak isu yang muncul dalam konflik Palestina-Israel, khususnya permasalahan mengenai penerapan hukum internasional, yaitu mengenai pembangunan pemukiman Israel di wilayah pendudukan dan status pengungsi Palestina di kawasan Timur Tengah.

Comments

Post a Comment