Jakarta Enam Senar


Baru kali ini saya melihat segerombolan gitaris bermain dalam satu panggung secara bersamaan. Untuk kalangan gitaris klasik (mungkin istilah Jubing Kristianto lebih tepat, meski belum populer, fingerstyle guitarist) yang lebih umum adalah bermain secara solo. Kalaupun agak banyak mungkin hanya sekitar 3-4 orang saja. 

Jakarta Enam Senar (JES) memberikan sebuah suguhan baru dalam khazanah musik Indonesia khususnya gitar dengan penampilannya yang sudah mirip orkestra, karena menampilkan 20 orang langsung di panggung untuk memainkan repertoar-repertoarnya. Gitaris-gitaris yang berkolaborasi di JES rata-rata merupakan mahasiswa atau lulusan dari jurusan musik dengan mayor gitar klasik di Universitas Negeri Jakarta (UNJ) ataupun Institut Kesenian Jakarta (IKJ).

JES sendiri sebenarnya pernah tampil di Bandung ketika KlabKlassik mengadakan acara Classical Guitar Fiesta pada tahun 2006. Sialnya, karena saat itu saya menjadi panitia, akhirnya penampilan JES pada saat itu tidak bisa saya nikmati. Beruntung pada kemarin, JES bukan sekedar menjadi pengisi acara seperti di Classical Guitar Fiesta, tetapi memang mengadakan konser khusus di Bandung untuk memperkenalkan JES.

Ekspektasi saya sebenarnya cukup berlebihan karena dari luarnya, JES menjanjikan sesuatu yang berbeda yang belum pernah disajikan di Indonesia. Ketika penampilan mereka di buka dengan lagu Halo-Halo Bandung yang diawali dengan bunyi-bunyian perkusif, ekspektasi yang muncul semakin besar, karena saya yakin bahwa konser JES akan saya jadikan sebagai referensi ketika mengajar di kelas. 

Tetapi ekspektasi saya berhenti saja sampai disitu, karena aransemen Halo-Halo Bandung yang mereka sajikan tidak bisa dibilang luar biasa, despite bagian intro yang memang cukup mengundang rasa penasaran. Memang ada beberapa bagian yang cukup bersemangat, tetapi sayangnya aransemen kemarin tidak membuat lagu Halo-Halo Bandung mencapai klimaksnya. Sehingga ketika lagu itu selesai, ada perasaan nanggung di kuping, karena merasa ada yang belum selesai (padalah sudah).

Di lagu-lagu berikutnya, hampir tidak ada keunggulan yang dapat disajikan oleh JES dalam aransemennya. Jadi tidak ada bedanya ketika mendengar John Williams dengan orkestra pengiringnya dan JES. Bahkan, JES tidak berhasil menampilkan power yang pas, ketika misalnya membawakan Sevilla karya dari Isaac Albeniz. 

Pada saat mereka membawakan lagu Kereta Apiku, lagi-lagi nuansa perkusif disajikan dengan berbagai metode mengetuk-ngetuk gitar ataupun menggosok-gosok senar. Cara ini sebenarnya sangat bagus, karena orang memang mendapatkan suasana bebunyian kereta baik di stasiun ataupun ketika menunggu kereta lewat. 

Tetapi lagi-lagi JES terlihat hanya menonjolkan suasana perkusifnya saja, yang akhirnya membuat melodi dan hype dari lagu Kereta Apiku tidak bisa dirasakan. Padahal kalau JES mau membuat aransemen diluar bebunyian perkusif yang lebih menitikberatkan pada lagunya, sajian kemarin pasti akan jauh lebih menarik. 

Lagu Mission Impossible pun seperti tidak disajikan dengan greget, karena suara gitar-gitar yang ada di JES tidak campur sehingga seperti banyak orang memainkan lagu yang sama namun dibawah koordinasi yang berbeda.

Mungkin ada beberapa permasalahan yang bisa diidentifikasi. Pertama, masalah kualitas gitar yang berbeda-beda. Ini memang merupakan sebuah kewajaran, karena gitar yang memiliki kualitas suara yang baik biasanya membanderol harga yang cukup tinggi, yaitu diatas 5 juta rupiah. 

Dengan adanya perbedaan kualitas gitar ini, maka karakter dan jenis sound yang dihasilkan pun akan serta merta berbeda, belum lagi ditambah penggunaan senar yang tentunya berbeda-beda dan juga memberikan sound yang berbeda pula. 

Tentunya masalah ini bisa diatasi dengan menggunakan gitar dan senar yang sama untuk semua gitaris. Apabila JES dapat lebih berkembang lagi, pasti tidak akan sulit membeli gitar yang lebih baik dari sekedar Yamaha, ataupun di-endorse oleh salah satu pabrikan gitar akustik. 

Permasalahan kedua, penempatan mikrofon yang menurut saya tidak pas apabila JES bermain dalam dua tumpuk seperti kemarin. Ada barisan depan dan barisan belakang, sehingga hanya gitaris-gitaris yang di barisan depan yang terdengar. 

Kalau mikrofon yang dipakai berasal dari kualitas yahud, mungkin masalah ini tidak akan muncul. Alangkah lebih tepatnya ketika penampilan JES yang dua baris seperti kemarin diakali dengan penempatan mikrofon yang digantung, sehingga suara dari gitaris-gitaris di bagian belakang tetap dapat masuk ke mikrofon dan tidak terhalang oleh gitaris di barisan depan.

Meski demikian, sajian kemarin tetap memberikan sebuah warna baru bagi musik Indonesia yang belakangan ini cukup monoton bahkan cenderung mundur dengan diadaptasinya musik-musik aneh dari negara tetangga di Semenanjung Malaka.

Comments

  1. Anonymous7:18 AM

    Thanks,,,,
    tulisan ini yang saya perlukan. Muda2han bisa menjadi acuan untuk saya (kami) untuk berkembang.

    Stephanus-gitar 1 Jakarta Enam Senar
    coda12321@yahoo.com

    ReplyDelete
  2. semoga saja. karena sungguh sangat sayang sekali ketika ide dan konsep dari JES tidak berhasil dikembangkan lebih jauh lagi.

    ReplyDelete
  3. oe anuuusss...!!!!!
    masih idup lo???? :p

    ReplyDelete

Post a Comment