Recount (2008)

Pemilihan Presiden Amerika Serikat (AS) yang baru saja berlangsung pada November kemarin memang menjadi sebuah tontonan menarik bukan hanya di AS, tetapi juga di seluruh dunia. Banyak pihak yang mengatakan bahwa pertarungan antara Barack Obama vs. John McCain merupakan pilpres AS yang mendapatkan liputan internasional paling banyak dibandingkan dengan pilpres AS sebelumnya.

Mungkin karena beberapa permasalahan yang muncul pada masa pemerintahan George W. Bush, akhirnya banyak pihak menaruh perhatian pada pergantian kepemimpinan yang diharapkan akan menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang ada sebelumnya seperti Perang Irak, Perang Afghanistan, dan permasalahan yang paling mutakhir yaitu krisis ekonomi global.

Sebenarnya, pilpres-pilpres AS sebelumnya tidak kalah menarik, hanya saja kehadiran Barack Obama sebagai calon presiden (capres) memang memberikan sebuah sensasi tersendiri, karena selama 232 tahun sejarah AS, tidak penah seorang kulit hitam pun yang pernah memimpin AS di Gedung Putih.

Pemilihan yang akhirnya dimenangkan oleh Barack Obama memang tidak menghadirkan dispute antara kedua calon, karena jumlah dari seluruh tempat pemilihan di AS memenangkan Barack Obama dengan selisih yang cukup jauh.

Apabila pertarungan Obama vs. McCain mendapatkan perhatian khusus selama masa kampanye, maka Pilpres AS pada tahun 2000 antara Al Gore vs. George W. Bush justru mendapatkan perhatiannya ketika terjadi dispute di negara bagian Florida, yang pada saat itu secara kebetulan didominasi oleh Partai Republik yang notabene merupakan partai dari George W. Bush.

Perbedaan suara diantara keduanya sangatlah tipis, sehingga sangat memungkinkan terjadi kesalahan perhitungan di tempat-tempat pemilihan suara, atau terjadi salah pengertian oleh para pemilih karena surat suara yang yang cukup membingungkan, atau ada pelarangan memilih untuk sebagian orang karena disanga sebagai pelaku tindak pidana. Sengketa inilah yang kemudian menjadi dasar dibuatnya film berjudul Recount.

Film ini dibintangi oleh Kevin Spacey, Ed Begley Jr. dan beberapa bintang lain yang sudah cukup familiar di lavar kaca maupun film. Kevin Spacey berperan sebagai Ron Klain, mantan kepala staf (chief of staff) Al Gore yang kembali berkampanye untuk Al Gore karena dibutuhkan, dan Ed Begley Jr. sebagai David Boies yang menjadi pengacara selama dispute berlangsung antara Al Gore dan George W. Bush.

Film ini diawali dengan scene hari-H pilpres AS di negara bagian Florida, dengan penekanan terhadap ballot (kertas suara) dan sistem poncoblosannya. Kedua hal tersebut menjadi hal teknis yang kemudian menjadi salah satu isu dalam dispute antara Gore dengan Bush. Tidak banyak orang Indonesia mengetahui, meski AS termasuk negara industri maju, namun di beberapa negara bagian, termasuk Florida, pemungutan suara untuk pilpres AS masih menggunakan sistem coblos seperti di Indonesia.

Berbeda dengan Indonesia--yang surat suaranya berisi gambar dan nama pasangan calon, yang kemudian harus dicoblos dengan paku atau alat pencoblos lainnya--di negara bagian Florida, penduduk yang berhak memilih mendapatkan kertas suara yang hanya berisi kotak-kotak saja, sedangkan nama calonnya berada di “mesin” pemilih. Jadi penduduk akan memasukkan kertas suara ke sebuah “mesin” yang telah memiliki lubang di bagian tengah dan nama-nama pasangan calon di bagian kanan dan kiri, lalu melubanginya dengan alat pencoblos tepat di bagian yang diinginkan.

Ternyata hal ini menjadi masalah, karena penghitungan suara dilakukan oleh mesin, yang menyebabkan ada surat suara tidak dapat dihitung (uncounted) karena kurang keras dicoblos oleh pemilih (terutama oleh pemilih tua, yang memiliki berbagai penyakit yang dapat mempengaruhi pencoblosan).

Ketika total suara nasional dihitung, berbagai media elektronik menyatakan bahwa Bush mendapatkan 25 electoral college dari Florida dan memenangkan pilpres AS. Gore pun telah menelpon Bush untuk menyatakan selamat atas kemenangannya. Namun beberapa staff dari tim kampanyenya mendapatkan data berbeda, yang dapat menimbulkan sengketa antara Gore dan Bush, dan kemudian Gore tidak jadi melaksanakan pidato kekalahannya. Lalu Gore menelpon kembali Bush untuk menarik pernyataan sebelumnya.

Dari titik itulah (perolehan data yang berbeda) sengketa yang sebenarnya dimulai. Mulai dari demonstrasi di jalan-jalan, lobi-lobi antar tim, lobi dengan pejabat negara bagian terutama di bagian pemilihan, pengumpulan data, pencarian berbagai sumber hukum untuk mendukung argumen masing-masing, dan tak lepas dari proses pengadilan.

Meskipun Hollywood seringkali mendramatisasi film-filmnya (yang memang merupakan sebuah keharusan), tetapi deskripsi atas langkah-langkah yang terjadi dalam sengketa antara Gore dan Bush sangat runut dan jelas. Kedua tim mengatur strategi dan berusaha memprediksi strategi tim lawan, dan tidak langsung berhadapan ke pengadilan, melainkan masih mengusahakannya melalui lembaga-lembaga politik negara bagian.

Uniknya, kedua tim kampanye memiliki keunggulan masing-masing. Pada saat itu Partai Republik diuntungkan karena banyak pejabat dari negara bagian Florida adalah anggota Partai Republik dan juga menjadi bagian dari tim kampanye Bush (gubernur Florida pada saat itu adalah adik kandung Bush). Sementara Partai Demokrat memiliki keuntungan di pengadilan negara bagian Florida, karena hampir seluruhnya masih merupakan hakim-hakim yang dipilih ketika Florida dipimpin dari Partai Demokrat.

Berbagai perdebatan akhirnya berlangsung dan membuahkan beberapa hasil, yang terutama adalah penghitungan suara ulang di beberapa county di Florida, lalu diikuti dengan beberapa kali perpanjangan waktu penghitungan suara ulang, lalu penetapan penghentian penghitungan suara ulang, lalu diikuti lagi dengan diperintahkannya penghitungan suara ulang dilaksanakan kembali, hingga akhirnya sengketa ini bermuara ke Mahkamah Agung (United States Supreme Court), yang memberikan kemenangan bagi Bush (meskipun tidak an sich).

Tim kampanye Gore akan melakukan upaya lain agar Mahkamah Agung dapat memberikan keputusan yang berbeda. Namun pada akhirnya, Gore menyatakan kepada timnya untuk tidak melanjutkan upaya itu dan merelakan kekalahannya kepada George Bush.

Berbagai scene yang diperlihatkan dalam film ini mengingatkan kepada serial TV “The West Wing” yang menceritakan tentang pemerintahan presiden Amerika. Bedanya, Recount beradasarkan kisah nyata, dan menampilkan individu-individu yang nyata, sementara The West Wing sepenuhya fiksi. Namun hype yang ditunjukkan agak mirip satu sama lain. Lobi-lobi politik, beban yang harus dipikul seorang kepala staff, distingsi dan perdebatan sengit antara Demokrat dengan Republik menjadi sebuah suguhan yang tetap menarik.

Satu hal yang unik dari film ini, kedua tokoh yang menjadi sentral cerita yaitu Al Gore dan George Bush justru tidak ditampilkan secara menonjol. Meskipun ada beberapa scene ketika staff dari tim kampanye kedua kandidat sedang berbicara langsung kepada kandidat, namun wajah keduanya tidak ditampilkan secara jelas.

Filmnya memang menempatkan staf dari masing-masing tim kampanye sebagai tokoh utama berlangsungnya perdebatan antara kedua kandidat. Dan film ini benar-benar terkesan riil karena menampilkan cuplikan-cuplikan riil dari media elektronik AS ketika berlangsungnya dispute ini.

Ada dua hal yang mengusik ketika menonton film ini. Yang pertama adalah masalah kualitas film, khususnya film Indonesia. Jika dibandingkan dengan film-film atau serial-serial yang juga menceritakan tentang pemerintahan AS, film ini tidak bisa dibilang luar biasa. Namun bila membandingkannya dengan film-film Indonesia, maka sangat kontras.

Dunia perfilman Indonesia (meskipun sudah bangkit) masih belum bisa terlepas dari himpitan permintaan pasar akan genre horror, cinta remaja, dan komedi. Perfilman Indonesia belum pernah mengeluarkan film yang berdasarkan pada sebuah profesi (kecuali Si Jago Merah), apalagi tentang pemerintahan Indonesia.

Alangkah bagusnya ketika dunia perfilman Indonesia membuat sebuah film seperti Recount dan serial The West Wing yang menampilkan intrik-intrik dan perdebatan di Istana Negara, atau seperti Runaway Jury dan Law & Order yang menampilkan perdebatan-perdebatan hukum di pengadilan, atau kisah dokter seperti E.R., House dan Grey’s Anatomy.

Film dan serial yang bermutu seperti itu memang masih jauh dari harapan jika melihat kondisi Indonesia pada saat ini. Tapi tentunya kita tidak bisa berhenti berharap, sekaligus memberikan opini, saran, dan kritik untuk kemajuan industri hiburan di Indonesia.

Yang kedua adalah realitas politik Indonesia pada saat ini yang belum menunjukkan kedewasaan berpolitik. Jika melihat Recount, sang kandidat menyatakan diri kalah, meskipun sebenarnya masih ada beberapa upaya lain yang bisa dilakukan oleh tim kampanyenya. Sedangkan di Indonesia sengketa pilkada (mungkin nanti pilpres 2009) terus dibiarkan berlarut-larut, bahkan oleh si kandidat itu sendiri.

Fakta demikian dapat kita lihat di sengketa Pilkada Maluku Utara yang hingga kini belum kunjung usai. Mungkin juga sengketa Pilkada Jawa Timur akan mengalami hal yang sama seperti Maluku Utara apabila salah satu kandidat enggan untuk menyelesaikan sengketa.

Sebuah upaya untuk memperjuangkan keyakinan kita memang diperlukan, tetapi ketika langkah-langkah yang ditempuh telah mencapai titik klimaks, sudah seharusnya kedewasaan berpolitik dan berdemokrasi dikedepankan. Kepentingan seluruh masyarakat jauh lebih penting ketimbang kemenangan salah satu pasangan calon, karena ketika terjadi sengketa maka yang muncul adalah perpecahan antara dua kubu pendukung masing-masing kandidat.

Seperti yang dikutip dari Recount : “you should put your country before your party”. Menempatkan kepentingan negara diatas kepentingan kelompok/partai memang seringkali menjadi slogan maut para politisi kita, meski pada kenyataannya hal tersebut jarang dipraktikkan (jika tidak bisa dibilang tidak pernah).

Sama seperti permasalahan industri hiburan Indonesia, kita pun harus terus menerus memberikan opini, saran, dan kritik dalam dunia politik dan kehidupan berdemokrasi di Indonesia untuk bisa mewujudkan Indonesia yang adil, makmur, dan sejahtera.

Well, easier said than done. Tetapi tentunya kita tidak akan kehilangan harapan atas berlangsungnya eksistensi negara-bangsa ini. Semoga.

Comments