RUU Badan Hukum Pendidikan

Suplemen “KAMPUS” PR hari ini (Kamis, 26 Januari 2006) mengangkat headline mengenai masalah di seputar bakal di-gol-kannya RUU BHP (Badan Hukum Pendidikan). RUU ini, jika disahkan sebagai UU, akan mengharuskan universitas2 negeri di Indonesia lepas dari subsidi pemerintah (tidak lepas sepenuhnya, hanya saja subsidi diminimalisasi sampai serendah2nya) sehingga menjadi PT BHMN atau BHPT atau apapun itu.

Kampus gw, Unpad, adalah salah satu universitas negeri yang sebelum RUU ini digolkan sudah membuka wacana untuk mengikuti jejak 4 kampus lainnya di Jawa Barat yang udah terlebih dulu mengadopsi bentuk PT BHMN yaitu Universitas Indonesia (UI), Institut Pertanian Bogor (IPB), Institut Teknologi Bandung (ITB), Universitas Padahal Institut (UPI) eh…Universitas Pendidikan Indonesia.

Keempat universitas negeri ini, sudah melakukan perubahan bentuk menjadi PT BHMN sejak 3 atau 4 tahun lalu. Ketika itu perubahan yang dilakukan oleh pihak universitas pun mendapatkan banyak penentangan terutama dari kalangan mahasiswa. Yang gw bingung, mahasiswa ada pemegang kekuatan riil dalam kampus. Elit2 kampus seperti rektor, dekan, pembantu rektor, pembantu dekan, dosen2 lain, (kadang termasuk ketua2 badan eksekutif / senat / keluarga mahasiswa…hehehehe, no hurt feeling…) berjumlah sedikit, jika dibandingkan dengan kuantitas mahasiswa. Tapi kebijakan yang dikeluarkan oleh pihak kampus (rektorat – red.), jarang sekali yang bisa digagalkan atau ditunda. Bahkan untuk sekedar berdiskusi langsung pun sangat jarang.

Di dalam konteks kampus gw (Unpad – red.), permasalahan mengenai PT BHMN ini udah muncul semenjak gw terdaftar sebagai mahasiswa disitu (September 2003). Munculnya kontra terhadap perubahan Unpad dari PTN menjadi PT BHMN disebabkan akan naiknya SPP Unpad karena sudah tidak disubsidi pemerintah lagi. Untuk SPP sebesar sekarang saja, masih ada beberapa orang tua yang tidak sanggup membiayai anaknya. Para mahasiswa yang kontra terhadap kebijakan ini mengganggap pihak rektorat tidak lagi mempertahankan kampus Unpad sebagai kampus rakyat, dan hanya memikirkan permasalahan operasional kampus tanpa memperhatikan kualitas pendidikannya.
Tapi, sebelum Unpad menjadi PT BHMN pun, kenaikan SPP sudah terjadi untuk angkatan 2004. dari semula SPP terakhir berjumlah 375ribu (angkatan gw 2003), naik menjadi 600ribu. SPP ini sebenarnya masih lebih murah dibandingkan dengan universitas lain di Jawa Barat. Tapi ketika tidak ada lagi universitas yang memberikan SPP murah, dimana lagi orang2 yang kurang mampu secara ekonomi akan melanjutkan pendidikan tinggi ?? sementara lowongan kerja yang tersedia untuk lulusan SMA hanyalah sebagai sales.

Hal ini akan menjadi lebih jelas jika Unpad sudah mengkonversi dirinya menjadi PT BHMN. Bayangkan, dengan 13 fakultas, sekian jurusan, sekian banyak program diploma, sekian banyak program ekstensi, dan sekian banyak program pascasarjana, berapa banyak biaya operasional yang harus pihak Unpad keluarkan?? Hal itu berkemungkinan besar dipenuhi dengan menaikkan SPP. Tapi apakah dengan menaikkan SPP akan menyelesaikan masalah?? Tentu saja tidak. Karena masalah yang dihadapi bukanlah sekedar pemenuhan kebutuhan operasional saja. Tapi juga menaikkan mutu pendidikan. Dengan kondisi saat ini, kualitas pendidikan yang Unpad berikan bisa dibilang minim. Fasilitas yang seadanya, dosen yang sering terbang kesana kemari, adalah faktor utama minimnya kualitas pendidikan di Unpad. Dan kondisi yang memang sudah seadanya seperti sekarang, akan ditambah lagi dengan bentuk PT BHMN yang membuat pihak kampus harus mencari dana operasional sendiri.

Tapi bukankah dengan adanya program2 di luar jalur SPMB sudah menunjukkan bahwa Unpad telah menjadi PT semi-BHMN?? Secara praktis iya, tapi tidak secara yuridis. Karena tidak pernah ada pernyataan resmi dari pihak kampus yang menyatakan bahwa Unpad adalah PT BHMN.

Ada pernyataan yang membuat gw tertawa, dari salah satu pegawai Unpad “mahasiswa kan banyak, jadi kami tidak mungkin mensosialisasikan masalah mengenai PT BHMN ini secara person”. Lah, mading di kampus kan banyak pak!! Sesusah apa sih ngebuat selebaran yang berisikan masalah mengenai PT BHMN ???

Sebenarnya, bentuk PT BHMN ini merupakan hal yang kontradiktif. Secara logis, dengan biaya yang murah mana bisa kita mendapatkan barang yang berkualitas??? Namun jika dilihat dari sudut pandang seperti ini, akan ada konsepsi yang salah besar. Terutama dengan menganalogikan pendidikan sebagai suatu bentuk komoditi. Padahal konstitusi Indonesia pasal 31, mengatakan bahwa “setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan”. Sehingga ini mempertegas bahwa pendidikan itu bukanlah komoditi yang dibuat untuk mencari keuntungan (komersialisasi).

Namun dengan timbulnya PT BHMN, otonomi kampus akan semakin luas. Yang akan berakibat positif kepada posisi kampus sebagai salah satu wadah intelektualitas yang tidak ditunggangi oleh kepentingan politik apapun. Sehingga memunculkan kampus yang independen dan menghasilkan intelektual-intelektual (namun itu adalah bentuk ideal / utopis).

Inovasi menjadi salah satu kata yang menjadi patokan utama ketika suatu universitas memutuskan untuk menjadi PT BHMN. Inovasi ini terutama dengan hal2 yang berbau pendidikan, seperti misalnya kerjasama dengan universitas anu di negara anu, atau penyelenggaraan sertifikasi internasional dengan perusahaan multinasional anu. Meski tetap berbau pendidikan, tapi apakah inovasi tersebut tetap berorientasi untuk menghasilkan tenaga intelektual yang dibutuhkan untuk memperbaiki kondisi saat ini?? Atau hanya sekedar lahan mencari keuntungan (meski tidak korupsi, tapi seperti tidak etis saja) dengan berkedok pada program pendidikan ??

Who knows ??? tunggu aja…

Comments