Kemerdekaan Kosovo dan Politik Luar Negeri Indonesia

Telah bertambah entitas baru bagi masyarakat internasional. Setelah berjuang sekian lama, Kosovo akhirnya mendeklarasikan diri sebagai sebuah negara yang merdeka. Deklarasi yang dikumandangkan oleh menimbulkan kontrovesi diantara berbagai negara. Amerika Serikat dengan mudahnya memberikan pengakuan terhadap deklarasi kemerdekaan Kosovo, dan negara-negara Eropa Barat yang selama ini menjadi sekutu AS diantaranya Inggris, Prancis, . Namun beberapa negara Uni Eropa tidak mengakui eksistensi dari negara Kosovo yang memerdekakan diri dari Serbia. Tantangan terbesar tentu saja berasal dari negara Serbia itu sendiri yang menyatakan bahwa pendirian negara Kosovo di dalam wilayah Serbia merupakan tindakan yang tidak bisa dimaafkan. Pemimpin Serbia kemudian memberikan pernyataan, yang dikutip oleh media internasional, bahwa Serbia akan melakukan seluruh “tindakan diplomatik“ untuk mencegah diakuinya Kosovo sebagai sebuah negara, khususnya terhadap usaha Kosovo untuk menjadi anggota dari PBB. Negara-negara lain yang menolak berdirinya negara Kosovo, pada umumnya merupakan negara yang mengalami masalah yang kurang lebih sama dengan Serbia, yaitu separatisme. Beberapa negara yang menolak independensi Kosovo adalah Rusia dan Spanyol.

Bagaimana dengan pengakuan Indonesia terhadap kemerdekaan Kosovo?

Tidak akan pernah hilang dari catatan sejarah Indonesia, bahwa gerakan separatisme yang kemudian bertendensi untuk membuat negara sendiri bukanlah sebuah hal yang aneh. Permasalahan terakhir mengenai separatisme yang baru saja selesai yaitu mengenai Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Konflik ini kemudian usai dengan dibuatnya Memorandum of Understanding antara Pemerintah Indonesia dengan GAM. Sementara, permasalahan separatisme di Papua, dapat sedikit ditekan dengan memberikan otonomi khusus kepada Papua melalui UU 21/2001. Selain Aceh dan Papua, Timor Timur juga mengalami permasalahan yang sama. Setelah “berjuang” selama puluhan tahun, pada tahun 1997, Timor Timur akhirnya berhasil “membebaskan” diri dari Indonesia, setelah dilaksanakan referendum untuk menentukan status Timor Timur berhasil dimenangkan oleh kelompok pro-kemerdekaan. Dalam sejarah gerakan separatisme di Indonesia, hanya Timor Timur (yang kemudian menjadi Timor Leste) yang berhasil untuk memerdekakan diri. Sementara sisanya berhasil ditumpas, seperti Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI), Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII), Republik Maluku Selatan (RMS).

Catatan yang panjang dalam masalah separatisme itulah yang kemudian membuat pemerintah Indonesia mengambil sikap menunggu untuk mengakui kemerdekaan Kosovo dari Serbia. Sikap ini dapat dimengerti, karena jika Indonesia langsung mengambil sikap untuk mengakui kemerdekaan Kosovo, dapat dinilai bahwa Indonesia mendukung adanya gerakan kemerdekaan/gerakan pembebasan yang berada di sebuah negara, yang akan memunculkan kemungkinan lahirnya kembali gerakan-gerakan separatis di Indonesia yang telah berhasil diredam. Namun apabila Indonesia seketika itu juga mengambil sikap menolak kemerdekaan Kosovo, maka kontroversi tidak bisa dielakkan, karena secara bersamaan Indonesia telah menolak prinsip right of self-determination dan tidak menunjukkan solidaritas terhadap negara berpenduduk Muslim (92% penduduk Kosovo merupakan etnis Albania, yang hampir seluruhnya menganut agama Islam).

Pada umumnya, politik luar negeri suatu negara akan ditentukan dengan prediksi terhadap implikasi yang akan ditimbulkan di dalam masyarakat internasional. Sementara dalam permasalahan Kosovo ini, Indonesia menghadapi dua dilema sekaligus, tidak hanya berhadapan dengan masyarakat internasional, tetapi juga dengan kondisi domestik saat ini.

Pengakuan terhadap kemerdekaan suatu negara adalah sikap politik, meskipun kemudian akan menimbulkan akibat yuridis dalam hubungan kedua negara. Sehingga tidak ada sebuah obligasi internasional yang mengharuskan sebuah negara untuk mengakui kemerdekaan negara lain. Dalam sistem pemerintahan Indonesia, yang menganut sistem presidensial, kewenangan untuk mengakui kemerdekaan negara lain berada sepenuhnya di tangan Presiden sebagai kepala negara sekaligus kepala pemerintahan. Sikap mengambang yang ditunjukkan oleh pemerintah, seharusnya tidak dipandang negatif oleh masyarakat, khususnya oleh DPR (baik pihak yang pro maupun kontra). Sangatlah tepat bagi pemerintah Indonesia untuk tidak mengambil sikap tegas, karena masih banyak permasalahan domestik dan internasional lain yang masih harus diselesaikan. Saat ini, gesekan antar kelompok yang dapat muncul akibat sikap politik luar negeri Indonesia sangatlah tidak dibutuhkan. Usaha untuk memperbaiki citra Indonesia di mata masyarakat internasional, khususnya dalam masalah Hak Asasi Manusia, Korupsi, Good Governance, dan Terorisme masih terus berlangsung. Sementara itu, masalah ekonomi, pendidikan, kebutuhan pangan, dan politik lokal di Indonesia, masih juga belum bisa diselesaikan dengan optimal.

Apabila anggota-anggota DPR dapat memperhatikan dengan seksama permasalahan yang harus dihadapi pemerintah Indonesia, mereka tidak selayaknya memberikan pendapat yang bersifat memaksa, seperti “pemerintah seharusnya…” atau “pemerintah tidak seharusnya…”. Alangkah tidak menguntungkannya bagi citra Indonesia di mata internasional apabila pemerintah secara gegabah menolak atau menerima kemerdekaan Kosovo.

Comments

  1. IMHO, langkah pemerintah kita untuk tidak mengakui Kosovo itu mungkin tepat apabila diliat dari aspek politik, terutama kalo kita liat dari separatisme di Indonesia, macem GAM, OPM, RMS, dll. mungkin itu jg yang jadi alasan Rusia dgn Chechnya-nya, Cina dgn Tibetnya, Srilangka dgn Tamil-nya, dan negara-negara dengan problem serupa tidak atau belum mengakui kemerdekaan kosovo, bahkan Israel yang biasanya satu geng sama US n UK, menolak secara tegas kemerdekaan Kosovo.
    Kemarin setelah gue nanya2 ke ex-dubes Indonesia utk Serbia, Prof.Etty, Pak Rudi, dan bahkan Prof. Peter Malanczuk (serius nih), semuanya sepakat kalo independence atau dari aspek self determination yang didapet dari secession itu illegal menurut hkm internasional, tapi kalo kata malanczuk state secession is not allowed but not prohibited (nah loh!)
    tapi setelah beliau menjelaskan, ternyata kasus self determination suatu negara dengan alasan racial discrimination ngga pernah diterima di hukum internasional, walaupun ada provisinya di GA Friendly Relation Declaration 1970, yg memungkinkan hak bangsa untuk self determination apabila terjadi suatu ketidak adilan yang terus menerus tapi itupun di kalimat terakhirnya bilang kalo segala macam ketentuan di resolusi ini ga boleh dijadiin dasar pembenaran untuk memisahkan diri dari negara, nah, di Quebec yang pernah mau misahin diri dari Kanada, dan suku Indian Lakota yang mau memisahkan diri dari Amrik, kedua kasus tersebut ditolak oleh masy. int'l karena tidak berdasar hukum yang kuat, jadi kalo menurut gue, Kosovo itu kyknya bakal jadi Taiwan kedua, karena selama Security Council masih IIM (itu itu mulu), pasti negara2 anggota SC yang masih mengalami masalah separatisme bakal terus ngeveto pengesahan negara-negara yang didirikan secara ilegal, yah begitu lah..

    ReplyDelete

Post a Comment