Generasi di Indonesia, khususnya yang berada di pemerintahan Soekarno pasti merasakan bagaimana kerasnya pertarungan ideologi antara Amerika Serikat (AS) dan Uni Sovyet (USSR). Antara demokratik-liberal-sekuler (AS) dengan komunis-totaliter (USSR). Pemerintahan Indonesia pun sempat condong kepada USSR sebagai pemimpin kutub politik “Timur” pada saat itu, meskipun Indonesia menginisiasi Gerakan Non-Blok yang mengklaim tidak berpihak pada kutub manapun. Ketika Indonesia mengalami krisis politik dan transisi pemerintahan pada tahun 1966, pengaruh antara kedua kutub masih terasa kental, tetapi Indonesia mulai mengubah orientasi politiknya ke arah “Barat” dan mulai menerapkan resep-resep pemerintahan ala barat. Pertarungan antara kedua kutub ini berakhir pada tahun 1990an, ketika Tembok Berlin diruntuhkan, yang kemudian diikuti dengan bersatunya Jerman, dan bubarnya USSR menjadi negara-negara yang independen. Dengan simbolisasi tersebut, tanda bahwa berakhirnya hegemoni komunis peta politik bumi menjadi semakin nyata, yang disertai pula dengan semakin homogennya konstalasi politik dunia yang hanya dikuasai oleh AS.
Bubarnya USSR melahirkan beberapa negara-negara baru di wilayah Eropa Timur dan Asia Tengah. Negara terbesar hasil dari pecahan USSR adalah Rusia, yang juga menjadi pewaris kedigdayaan politik dari USSR. Rusia meneruskan kursi dari USSR di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), dan otomatis menjadi anggota tetap Dewan Keamanan PBB. Meskipun Rusia mendapatkan warisan politik dari USSR, tetapi tidak dengan ideologinya. Komunisme yang telah dianut oleh USSR semenjak Revolusi Bolshevik pada tahun 1917 tidak lagi menjadi ideologi resmi negara. Komunisme dihancurkan di semua lini masyarakat Rusia. Mikhail Gorbachev membuat sebuah program yang menegaskan kondisi ini, yaitu dengan prestroika dan glasnost. Dengan orientasi politik seperti itu, saluran diplomatik dengan negara-negara Barat yang sebelumnya tabu untuk dilakukan, mulai diinisiasi oleh Rusia. Perubahan yang sangat fundamental di Rusia ini tak dapat dihindarkan berpengaruh kepada lini masyarakat. Ketika menganut paham komunisme, ekonomi dan politik sangatlah dikuasai oleh negara secara sentralistik. Program yang dilaksanakan oleh Gorbachev, diteruskan oleh Boris Yeltsin dengan sangat terbuka. Namun reformasi yang terjadi di Rusia tidak membuat kondisi sosial menjadi lebih baik dibandingkan dengan masa-masa komunisme. Keterbukaan terhadap modal asing tidak menjadikan perekonomian Rusia menjadi lebih baik. Donor yang diberikan oleh International Monetary Fund (IMF) hanya memperparah kondisi yang telah memburuk. Keuntungan hanya didapat oleh segelintir penduduk Rusia, yang tiba-tiba menjadi milyuner baru, dengan cara “merampok” negara.
Buku ini menceritakan bagaimana mulainya keterpurukan Rusia sebagai penerus USSR di kancah politik dunia. Krisis politik, carut marutnya ekonomi, dan lemahnya militer, telah menjadikan Rusia sebagai negara besar yang tidak berdaya. Secara gamblang, Simon Saragih memaparkan fakta-fakta buruk yang disebabkan oleh donor dari lembaga-lembaga keuangan internasional, sekaligus tekanan dari AS terhadap politik lokal di Rusia. Milyuner-milyuner baru dari Rusia, yang disebutkan sebagai oligarki dalam buku ini, mulai menggerogoti Rusia dari dalam dan secara perlahan menghancurkan pranata ekonomi Rusia dengan melarikan uang bantuan luar negeri yang seharusnya masuk ke dalam kas negara. Tetapi kondisi hancur lebur yang dialami oleh Rusia mulai berubah semenjak dipilihnya Vladimir Vladimirovich Putin sebagai pejabat Presiden Rusia menggantikan Boris Yeltsin yang sakit-sakitan. Sikap politiknya yang tegas dan disiplin, telah mengantarkan Rusia untuk kembali meraih status sebagai ikon politik dunia dan mengalahkan hegemoni AS.
Simon Saragih memang menempatkan Vladimir Putin dan pengikutnya yang merupakan eks-Komitet Gosudarstvennoy Bezopasnosti (KGB) yang dikenal dengan istilah siloviki sebagai pemegang peranan penting dalam bangkitnya kembali Rusia dari keterpurukan semasa pemerintahan Boris Yeltsin. Dengan duduknya Putin di pemerintahan disertai dengan siloviki yang menjadi pembantu-pembantu terpercayanya, Rusia berhasil meningkatkan kondisi masyarakatnya dalam segala aspek. Ekonomi, pertahanan, politik berhasil dibenahi kembali dan menyembuhkan krisis yang telah akut. Rusia yang tadinya hanya mengangguk-angguk kepada kebijakan AS terhadap politik internasional, mulai berani untuk melawan kesewenang-wenangan AS.
Buku ini nampaknya ingin memberikan sebuah perspektif baru atas perbaikan politik dan ekonomi terhadap suatu negara. Selama ini, lembaga-lembaga keuangan internasional sangatlah dikontrol oleh kebijakan neo-konservatif yang ada di balik pemerintahan AS. Bukannya membantu, resep-resep yang ditawarkan oleh lembaga seperti IMF dan World Bank, justru semakin menjerumuskan negara pengutang dalam kondisi depresi ekonomi yang besar. Rusia dan Indonesia mengalami hal yang sama di thaun 1990an, tetapi Putin sebagai orang nomor satu di Rusia berani mengambil sikap untuk tidak diintervensi oleh AS dan kaki tangannya. Sementara Indonesia menyerahkan diri untuk digerogoti oleh mereka. Simon Saragih ingin menekankan, bahwa apa yang terjadi di Rusia dapat dijadikan sebagai sebuah role model bagi perubahan sosial. Dengan caranya sendiri, Rusia berhasil mengembalikan posisinya sebagai negara yang disegani di kancah internasional. Rusia tidak mau untuk diintervensi dengan negara asing, bahkan oleh adidaya seperti AS sekalipun. Hal inilah yang harus diperhatikan bagi Indonesia jika ingin mengembalikan stabilitas politik dan ekonomi seperti dulu. Indonesia harus menyadari bahwa kondisi di negara Barat tidaklah sama dengan di dalam negeri, sehingga tidak mungkin mengimplementasikan resep-resep ekonomi dari IMF dan World Bank secara bulat-bulat di Indonesia.
Semoga apa yang dicita-citakan Simon Saragih, dan tentunya kita semua, bahwa Indonesia kembali dari keterpurukan, dapat terwujud melalui inspirasi yang dilakukan oleh Putin terhadap Rusia.
Comments
Post a Comment