Traveler's Tale (Adhitya Mulya, et.al.)

Sedikit lebih mudah untuk mengikuti sebuah film yang disutradarai oleh empat orang yang berbeda (karena terdiri dari empat cerita yang terpisah, namun saling berkaitan). Beberapa film yang telah saya lihat dan termasuk dalam kategori tersebut, misalnya, Kuldesak, Babel, dan Amores Perros. Rasanya tak perlu diceritakan, karena saat ini saya akan membahas Traveler’s Tale. Sebuah buku novel yang ditulis secara keroyokan oleh empat orang sekaligus, Adhitya Mulya, Ninit Yunita, Alaya Setya, dan Iman Hidajat. Seperti juga film Kuldesak, Babel, dan Amores Perros, novel ini bercerita tentang empat kisah yang berbeda. Yang menjadikan novel ini lain dengan film-film itu adalah, keempat tokohnya memang saling mengenal. Lalu, sepanjang buku ini, keempat orang tersebut masih terus berhubungan. Sedangkan Kuldesak, Babel, dan Amores Perros terdiri dari empat kisah yang mandiri, namun “berkaitan” satu dengan yang lainnya.

Traveler’s Tale menceritakan tentang empat orang yang bersahabat sejak kecil, yang telah terpisah oleh jarak semenjak dewasa, dan dipertemukan kembali oleh rencana perkawinan dari salah satu diantara mereka. Empat orang subyek cerita, yang masing-masingnya ditulis oleh penulis yang berbeda. Dalam buku ini, memang tidak dipaparkan secara gamblang mengenai penulis mana yang menulis tokoh tertentu. Tetapi dari gaya penulisan yang dapat saya prediksi (ditambah dengan sedikit profil penulis yang ada di dalam buku), menurut saya : Yusuf ditulis oleh Adhitya Mulya, Farah ditulis oleh Ninit Yunita, Francis ditulis oleh Iman Hidajat, dan Retno ditulis oleh Alaya Setya.

Nah, inilah titik permasalahan kesulitan saya untuk membaca buku ini. Keempat orang ini menulis dengan gayanya masing-masing, yang tentu saja sangat berbeda (sangat-sangat berbeda). Tak seperti film, yang menurut saya perbedaan gaya menyutradarai antara satu sutradara dengan yang lainnya tidak terlalu kentara (mungkin karena saya bukanlah termasuk moviefreak golongan akut). Ketika sebuah buku ditulis oleh empat orang yang berbeda, dan membentuk satu kesatuan cerita yang utuh, maka yang muncul adalah energi yang sangat besar untuk mengubah mood membaca. Jadi kesulitannya bukanlah untuk mengerti cerita yang terjadi, melainkan untuk membiasakan diri mengubah kebiasaan membaca dari satu halaman ke halaman berikutnya.

Novel yang biasa saya baca, biasanya ditulis oleh satu orang (paling banyak dua orang, yaitu Cassandra Compact yang ditulis Robert Ludlum+Philip Selby). Dengan pola penulis seperti itu, akan memudahkan untuk mengikuti gaya penulisan yang konstan dari halaman ke halaman. Yang diperlukan adalah memahami ceritanya. Hal ini tidak berlaku di Traveler’s Tale. Mungkin ini adalah hal subyektif yang saya alami, karena telah terbiasa untuk membaca cerita yang mengalir dari tuturan satu orang saja.

Nah, menurut saya, ceritanya biasa saja. Tidak ada yang terlalu istimewa. Yang membuat istimewa dari novel ini (disamping berubah-ubahnya gaya penulisan dari halaman ke halaman) adalah tips-tips untuk backpacker wannabe, dan disertai penggambaran lokasi yang disinggahi oleh setiap tokohnya (disertai foto). Setelah novel Dan Brown, baru kali ini saya membaca begitu banyak kota yang terlibat dalam sebuah cerita.

Novel ini unik, sangat direkomendasikan dibaca, terutama bagi mereka yang mempunyai kebiasaan seperti saya. Tetapi tentunya, saya tidak memasukkan novel ini dalam kategori “harus dibaca berulang-ulang” seperti novel Sordam (Suhunan Situmorang), Executive Orders (Tom Clancy), ataupun Area X (Eliza V. Handayani)

Comments