Keinginan gua untuk membaca buku ini sebenarnya sudah muncul semenjak beberapa bulan yang lalu, ketika gua melihatnya di TogaMas. Tetapi karena harganya yang cukup mahal, niat itu gua tunda untuk waktu yang tidak ditentukan. Nah, sekian hari yang lalu, gua melihat buku ini di bagian Bargain Books Gramedia Merdeka Bandung, dengan harga yang cukup murah, Rp.20.000. Dilihat dari banyaknya jumlah buku ini di bagian Bargain, dapat diperkirakan, buku ini tergolong tidak laris.
Sebelumnya, gua harus menjelaskan kenapa gua tertarik dengan buku karangan Nafta S. Meika ini. Kebiasaan gua untuk membaca sinopsis dari sebuah buku (biasanya di sampul bagian belakang) menjadi titik awal keinginan gua untuk mengeksplorasi Rhadamanthus, ditambah lagi dengan subjudul “The #1 Campus Hacker”. Jadi yang gua pikirkan adalah sebuah bentuk pemberontakan mahasiswa di sebuah kampus, yang diwujudkan dengan kegiatan berbasis teknologi informasi. Persepsi gua tidak salah (karena pemberontakan tetap diceritakan), tapi tidak sepenuhnya benar (karena Rhadamanthus, yang disebut sebagai “hacker” di sub-judul tidak dapat dikatakan sebagai “hacker”).
Nah, ide cerita yang dibuat oleh Nafta S. Meika sesungguhnya sebuah hal yang menarik. Bagaimana sekelompok mahasiswa di universitas elit berusaha menentang pihak kampus dengan kebijakannya yang jauh dari Tri Dharma Perguruan Tinggi, kemudian interaksi antara mahasiswa, mengingatkan gua ketika membaca Catatan Seorang Demonstran (Soe Hok Gie). Memang tidak bisa dibandingkan apple-to-apple, karena Rhadamanthus adalah fiksi, sedangkan Catatan Seorang Demonstran merupakan catatan harian (non-fiksi). Tetapi hype yang dibangun sebenarnya sama. Namun yang menjadi kekurangan dari buku karangan Nafta S. Meika ini, adalah penggambaran pemberontakan mahasiswa yang terkesan nanggung. Kenapa nanggung? Nafta mendeskripsikan kegiatan pemberontakan ini dalam dua perspektif sekaligus, humor dan serius. Sehingga bagi gua, nuansa perlawanan mahasiswa tidak tereksplorasi dengan baik, karena Nafta berusaha untuk bisa memasukkan kedua unsur tersebut, yang mengakibatkan tidak konsistennya cerita. Kalau mau humor, lebih baik humor sekalian, sehingga otak memang disiapkan untuk humor. Kalau mau serius, ya buat penggambaran perlawanan mahasiswa lebih serius, dan tidak memasukkan joke-joke yang justru membuatnya menjadi garing.
Lalu seseorang yang dinamakan “Rhadamanthus” tidak pernah jelas. Apa peranannya, sebagai pembawa cerita? Alter-ego dari seorang tokoh? Atau memang karakter dibalik seluruh perlawanan mahasiswa terhadap pihak kampus? Hal ini semakin membingungkan dengan kematiannya di akhir cerita. Apakah kematiannya hanya sekedar metafor? Atau justru kematian nyata secara fisik? Gua masih bingung. Oh ya, kesan “hacker” tidak bisa ditangkap dari karakter Rhadamanthus, karena dia hanya bekerja memasukkan artikel mengenai kebobrokan kampus ke website ULAextreme. Tak usah menjadi hacker pun pasti bisa melakukan hal yang sama. Jadi apa yang dimaksud dengan “hacker” dalam sub-judul buku ini? Gua masih bingung.
Narasi yang tidak perlu. Ini cukup mengganggu mood selama membaca buku ini. Ketika sedang mencapai titik emosi tinggi, tiba-tiba muncul narasi yang entah apa korelasinya dengan cerita dalam jumlah halaman yang cukup banyak. Mungkin ada korelasinya, hanya gua yang terlalu bodoh untuk mengerti. Hal ini kemudian berlangsung terus menerus. Yang membuatnya semakin menyebalkan, kehadiran narasi ini semakin membingungkan bentuk sesungguhnya dari novel yang sedang dibaca. Apakah novel memang ditujukan dengan sudut pandang orang pertama? Atau orang ketiga? Belum lagi narasinya yang terkadang sangat puitis, namun kadang berisi joke yang membuatnya menjadi garing. Again, nanggung kembali muncul.
Ada lagi hal yang cukup mengganggu, dan ini berkaitan dengan nanggungnya Nafta S. Meika dalam bercerita. Pemberian nama untuk berbagai karakter, ataupun obyek masih setengah-setengah. Oke, kalau mau bercanda, silahkan saja membuat jurusan Teknologi Krupuk, Kedokteran Alien, Manajemen Sastra, atau yang lainnya. Tetapi kenapa masih ada jurusan dengan nama yang normal? Misalnya Teknik Elektro, ataupun fakultas yang namanya juga tidak diplesetkan seperti Fakultas Teknologi Industri. Jadi mau terkesan bercanda, tetapi nanggung. Atau bisa dilihat dari korelasi antara Rhadamanthus, Lumina Asa, dengan obyek lainnya. Eksplorasi terhadap Rhamadanthus terkesan dilewatkan begitu saja (padahal Rhadamanthus adalah tokoh dalam mitologi Yunani). Universitas Lumin Asa, terkesan sebagai tempat yang imajinatif, nyatanya tidak sesuai dengan berbagai nama jurusan yang ada.
Well, seperti yang gua bilang. Ide yang ditawarkan Nafta S. Meika dalam novel ini sangat bagus. Karena gua bisa membayangkan betapa sulitnya untuk bisa melakukan sebuah pergerakan di dalam universitas elit yang dijalankan oleh orang-orang yang tidak berorientasi pendidikan. Tetapi sayang sekali, ide yang luar biasa ini justru diluluh-lantakkan oleh sang penulis. Kalau saja Nafta S. Meika mau memilih salah satu diantara serius, atau komedi, maka novel yang dihasilkannya akan jauh lebih baik dibandingkan yang ini.
thanks buat komennya.
ReplyDeleteTapi bagi anak uph, memang lebih baik campur2 dan nanggung2 karena camar emas memang suka nanggung2.
oh .. kalau begitu baiklah. review saya terhadap buku Rhadamanthus hanya sebagai pandangan obyektif dari orang di luar sistem, yang sesungguhnya bersimpati atas perjuangan kawan2 mahasiwa UPH.
ReplyDelete