5 CM (Donny Dhirgantoro)


Don’t judge book by its cover. Begitulah kata pepatah bijak mengenai bagaimana seharusnya orang menilai sebuah buku. Meski saya percaya atas pepatah itu, tetapi sering saya melanggarnya demi memuaskan rasa penasaran. Kasus ini terjadi ketika saya membeli buku berjudul "5 cm" karangan Donny Dhirgantoro. Entah mengapa, saya tertarik dengan sampu novelnya yang hanya menampilkan tulisan “5 CM” besar-besar, dan berwarna hitam. 

Sampul buku yang aneh dan minimalis seperti ini memang selalu membuat saya tertarik untuk melihat dan membaca seperti apa isinya. Paling tidak, untuk melihat sinopsis yang seringkali ada di bagian sampul belakang.

Pada saat saya memutuskan untuk membeli buku ini, statusnya belumlah mencapai best-seller. Buku ini tertumpuk begitu saja bersama novel-novel karangan penulis Indonesia lainnya. Tetapi ketika beberapa bulan kemarin saya lihat di toko buku, ternyata buku ini sudah masuk ke dalam rak Best-Seller, bahkan sudah 12 kali cetak ulang.

Sempat melihat sedikit isi buku cetakan terbarunya, sudah ada perubahan di ucapan thanks to, layout halaman, dan beberapa kalimat dalam cerita. Meskipun, saya lihat, semua perubahan itu tidak terlalu fundamental bagi berjalannya cerita.

Status best seller yang didapatkan oleh buku ini sesungguhnya agak sedikit membingungkan buat saya. Sepanjang saya menikmati plot cerita dari awal hingga habis, tidak ada keistimewaan yang terlalu mencolok yang membuat buku ini layak rekomendasi untuk orang lain.

Plotnya, menurut saya, standar. Cerita tentang persahabatan lima orang, yang ingin menemukan apa arti persahabatan mereka, sehingga akhirnya harus berpisah selama 3 bulan untuk bertemu lagi. In my opinion, ini semua terlalu klise. 

Tak hanya itu, tokoh-tokoh di dalam buku ini mendapatkan deskripsi yang dalam pandangan saya “too good to be true”. Misalnya saja, seorang aktivis kampus yang menguasai hampir semua permasalahan, mulai dari musik, ekonomi, hingga olahraga. Atau misalnya, seseorang yang bisa sebegitu independen, tetap aktif, dan masih menunjukkan kodrat jendernya. 

Hingga yang paling klise, ketika mereka hanya mau membicarakan orang lain yang mereka kenal, dengan sebuah proses menggosip hanya dalam waktu tiga menit. Tidak kurang dan tidak lebih. Lalu di penghujung cerita mereka semua tetap bertemu dan mempunyai anak dengan umur yang sama. 

Sangat, sangat klise.

Mulai dari awal hingga penghujung cerita, kita akan disuguhkan berbagai macam bumbu dramatisasi yang menurut saya tidak penting. Bahkan, kasarnya, kalau dilewat begitu saja, tidak akan mengurangi jalannya cerita.

Saya memberikan sedikit bocoran. Buku ini menyajikan penampilan mistis dari seorang pendaki gunung yang diyakini telah tiada, karena hanya beberapa orang yang melihat dia. Sedangkan, yang lain tetap merasa bahwa mereka berjalan tanpa ada orang lain yang nimbrung ataupun ikut serta bersama-sama bercengkrama. Perpaduan antara dunia nyata dengan mistis yang justru membuat ceritanya semakin jauh dari realita.

Meskipun demikian, there's always a moral of the story, even the bad one. Semua klise yang menempel erat dalam sepanjang cerita, berujung pada sebuah filosofi yang menurut saya cukup layak untuk dilakukan bagi orang-orang yang menganut paham determinasi:“Kalau lu pengen sesuatu, tempel terus di sini (dengan telunjuk menunjuk jidat)”. 

Tanpa ide tempel-menempel di jidat, buku ini tidak memiliki nilai positif apa-apa bagi saya yang seringkali masih menganggap persahabatan erat seperti dalam buku ini adalah sebuah hubungan absurd, ko-dependen, dan hanya memberikan efek negatif bagi perkembangan seorang manusia. Sinisme ini hanya bisa dihasilkan ketika seseorang telah merasakan dampak dari sebuah hubungan ko-dependen dengan orang lain. Of course results may vary.

Sayang saja sih. Dhonny terlalu lelah untuk menuliskan cerita yang begitu panjang hanya karena ingin mengungkapkan filosofi jidat ini. Padahal, saran seperti ini bisa dia kemukakan tanpa harus bersusah payah membuat novel, yang ujung-ujungnya hanya sekedar menjadi buku motivasi yang berbalut cerita fiksi.

Yeah, too good to be true, menjadi sebuah label yang saya lekatkan pada buku karangan Donny Dhirgantoro. Anda yakin, masih ada sekelompok anak muda yang benar-benar eksis di Nusantara ini yang berkarakter seperti tokoh karangan Dhonny? Di tengah berbagai himpitan globalisasi dan toksifikasi budaya yang kita alami, saya tidak percaya ada sekelompok anak muda Indonesia yang masih bisa bersikap seperti dalam buku ini.

Kalau memang mau membuat sesuatu yang berdasarkan kisah nyata, ada baiknya plot cerita dibuat dengan senyata mungkin. Apa bedanya dengan menonton sinetron yang segala sesuatunya selalu didramatisasi? Lebih baik membuat buku fantasi yang akan membuat kita mengkhayal.

Mungkin bagi para penggemar dari buku ini (yang begitu banyak sehingga mencapai 12 kali cetak), tanggapan gua terkesan sinis. Well, I don't give a damn.

Comments

  1. setuju ngga setuju.. bisa aja koq masih ada orang yang kayak mereka..
    karna sejak baca buku itu, guw dan temen-temen melakukan 3 menit itu..

    ReplyDelete
  2. 3 menit untuk membicarakan orang lain? menurut gua, ketika kita membicarakan orang lain, batasan waktu menjadi percuma, karena kita tetap membicarakan orang lain. 3 menit itu hanya sekedar menjadi sebuah pembenaran untuk menggosip, hanya saja berbeda dengan orang lain yang mungkin tidak memiliki batasan waktu.

    intinya, tetap saja membicarakan orang lain di belakang. bagi saya, itu sebuah hal yang hipokrit. kalau memang memegang pada prinsip, jangan ada pengecualian meskipun hanya sedikit.

    ReplyDelete

Post a Comment