Menunggu Kejutan Lain dari Obama

Kekhawatiran beberapa orang tentang “Bradley Effect”[1] yang akan melanda Barack Obama akhirnya tidak terbukti. Obama berhasil menjadi presiden Amerika Serikat terpilih dengan mengantongi 338 electoral college dari keseluruhan 580 electoral college.[2] Perolehan suara ini sudah jauh melebihi jumlah minimum yang harus dikumpulkan seorang kandidat untuk menjadi presiden, yaitu 270 electoral college. John McCain sendiri baru mendapatkan 161 electoral college dan tidak akan mungkin lagi mengejar perolehan suara Obama, sehingga ia dengan legawa menghubungi Obama melalui telepon untuk mengakui kekalahannya dan mengucapkan selamat atas kemenangan Obama.[3]

Popularitas Obama selama masa kampanye memang luar biasa besar, dan mendapatkan sorotan publik yang begitu luas, tidak hanya dalam skala domestik (AS) tetapi juga dalam skala internasional. Eropa, Afrika, Timur Tengah, dan Asia sangat antusias dalam merespon pemilihan presiden AS pada kali ini karena kehadiran Obama sebagai salah satu kandidatnya. Untuk beberapa kawasan, seperti Afrika (khususnya Kenya), dan Asia Tenggara (khususnya Indonesia), Barack Obama mendapatkan porsi tersendiri dibandingkan McCain dalam pemberitaan di media-media. Ayah kandung Obama adalah warga negara Kenya yang kemudian berhasil menjadi ekonom senior di Departemen Keuangan Kenya pada masa pemerintahan Kenyatta.[4] Sedangkan Obama sendiri pernah hidup di Indonesia selama 4 tahun ketika ibu kandungnya (Ann Dunham) menikahi dan hijrah bersama Lolo Soetoro ke Jakarta, bahkan Obama pernah merasakan pendidikan Indonesia di SD Fransiskus Asisi dan SD Menteng 01.

Tantangan Politik Luar Negeri bagi Obama
Obama menghadapi berbagai isu internasional, terutama atas kebijakan AS yang dibuat selama masa pemerintahan George W. Bush. Irak dan Afghanistan menjadi sorotan utama dalam debat yang memfokuskan pada masalah kebijakan luar negeri yang akan dibuat Obama atau McCain ketika masa kampanye. Konflik Afghanistan telah berlangsung selama 7 tahun, sedangkan Irak telah memakan rentang waktu 5 tahun. Keduanya telah menimbulkan reaksi (yang pada umumnya kontra) akan kebijakan George W. Bush untuk melakukan perang disana.

AS mengagresi Afghanistan dengan tuduhan bahwa rezim Taliban dengan dukungan Osama bin Laden merupakan pihak yang paling bertanggungjawab atas serangan ke gedung World Trade Center di New York pada 11 September 2001 (lebih dikenal dengan 9/11).[5] Dengan mengerahkan kekuatan inti militernya, dan alokasi dana yang memakan sebagian besar APBN AS, perang di Afghanistan justru tidak menghasilkan apa-apa selain runtuhnya rezim Taliban. Konflik di Afghanistan justru semakin parah dengan kehadiran militer AS dan sekutunya disana. Sedangkan Osama bin Laden yang dicurigai sebagai aktor intelektual di balik semua kegiatan Taliban tidak berhasil ditangkap dan justru tetap mengeluarkan rekaman video sebagai respon atas berbagai kebijakan luar negeri AS.

Serangan AS ke Irak adalah serangan dalam rangka menemukan dan menghancurkan senjata pemusnah massal (weapons of mass destruction - WMD) ternyata nihil, karena WMD yang disinyalir sedang dikembangkan oleh Saddam Hussein ternyata hanya isapan jempol belaka, dan merupakan laporan palsu yang dibuat oleh intelijen AS.[6] Kehadiran militer AS di Irak hanya berhasil untuk mengadili Saddam Hussein melalui pengadilan hibrid, yang mendakwanya atas pembunuhan massal di tahun 1980an, dan tidak ada hubungannya dengan wacana WMD. Instabilitas politik Irak justru semakin menjadi dan keberadaan militer AS juga ikut memperparah krisis politik disana.

Dalam kampanyenya, Obama berjanji untuk mengurangi jumlah kekuatan militer AS yang dikerahkan di Afghanistan dan Irak secara bertahap. Kebijakan ini kemudian ditentang sebagian petinggi militer AS yang menganggap bahwa kebijakan ini tidak akan menyelesaikan permasalahan di Irak dan Afghanistan. Tentunya desakan internasional atas permasalahan di Irak dan Afghanistan, terutama mengenai masalah humaniter dan HAM, akan mendesak Obama untuk merealisasikan janji kampanyenya, karena kebijakan Partai Demokrat yang memang menghindari perang ataupun konflik bersenjata lainnya. Apakah Obama memang akan menkonkritkan janji kampanyenya berkaitan dengan masalah Irak dan Afghanistan?

Selain masalah perang Irak dan Afghanistan, AS juga dihadapkan pada isu mengenai global warming. Isu ini telah menjadi perhatian bagi diplomasi internasional dalam beberapa tahun belakangan semenjak perubahan lingkungan yang drastis di seantero dunia. AS sendiri tidak meratifikasi Protokol Kyoto yang diwacanakan semenjak United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) di Rio de Janeiro 1992 , dan ditandatangani di Kyoto pada tahun 1997. AS memang menandatangani protokol tersebut, tetapi menolak untuk meratifikasi sehingga ketentuan-ketentuan dalam protokol tersebut tidak mengikat bagi AS. Tindakan AS ini dianggap oleh sebagian besar negara dunia (termasuk oleh sekutu-sekutu dekatnya) sebagai keengganan AS untuk menyelesaikan masalah pemanasan global yang salah satu faktornya adalah emisi gas rumah kaca, yang mana AS telah menyumbangkan sekitar 15% dari seluruh emisi dunia. Isu ini sendiri tidak mendapatkan perhatian khusus dalam kampanye Obama mengenai kebijakan luar negerinya, sehingga sulit untuk mengharapkan lebih atas posisi AS dalam pencegahan pemanasan global selain keikutsertaannya dalam berbagai acara seremonial untuk mencegah global warming.

Peranan AS dalam Krisis Ekonomi Global
Dimulai dengan masalah krisis keuangan yang dialami oleh bisnis perumahan di AS, lalu kolapsnya perusahaan pengelola keuangan seperti Lehman Brothers dan AIG, dunia akhirnya turut merasakan dampak krisis AS. Tak hanya merasakan, mereka sendiri ikut-ikutan terkena krisis. Uni Eropa dipaksa untuk mengeluarkan sejumlah dana bail out bagi beberapa lembaga pengelola keuangannya yang kolaps. Berbagai belahan dunia lain juga merasakan krisis, termasuk Indonesia yang harus mengalami melemahnya rupiah terhadap dollar AS.

Apa yang terjadi di AS tak dapat dipungkiri akan berpengaruh ke belahan dunia lainnya. Krisis ekonomi 2008 menegaskan teori domino ini. Dalam kondisi tersebut, peranan Obama sebagai presiden terpilih AS dan tim ekonominya merupakan sebuah poin krusial dalam menyelesaikan seluruh krisis ekonomi ini. Ketika Obama sudah unggul terhadap McCain, pasar modal menunjukkan sentimen positif dengan naikknya nilai Dow Jones. Tentunya hal itu tidak dapat dijadikan sebagai rujukan membaiknya kondisi ekonomi, karena sifatnya yang masih sangat labil. Dalam kampanyenya, Obama menjanjikan akan memperbaiki kondisi ekonomi AS, dengan berbagai paket kebijakan ekonomi yang akan dia terapkan seperti salah satunya pemotongan pajak.

Partai Demokrat memang dikenal sebagai partai yang memiliki kebijakan ekonomi yang kuat. Ketika Bill Clinton turun di tahun 2000, dirinya meninggalkan surplus sejumlah 559 miliar dollar AS bagi pemerintahan Bush.[7] Sementara Partai Republik justru dikenal untuk tidak disiplin dalam urusan ekonomi, khususnya pajak. Karena dengan hobi perangnya Bush, dan tidak dikenakannya pajak, Bush justru mewariskan defisit perekonomian bagi Obama. Mungkinkah Obama dan gerbong Partai Demokrat dapat menyembuhkan krisis global seperti Franklin Delano Roosevelt menyembuhkan Great Depression dengan program New Deal di tahun ’30-an (pasca pemerintahan Hoover Grant) ?

Konflik Palestina-Israel
Pertentangan antara Palestina dengan Israel yang berlarut-larut semenjak Perang Al Nakba di tahun 1948 tentunya mendapatkan perhatian khusus dalam politik luar negeri AS. Dukungan AS terhadap Israel memang tidak pernah surut, kecuali beberapa saat dalam periode administrasi Jimmy Carter. Obama sendiri menegaskan dukungannya terhadap Israel meskipun secara diplomatis tetap berusaha untuk menyelesaikan konflik antara kedua entitas tersebut untuk mencapai perdamaian di Timur Tengah. Obama akan meneruskan usaha yang digagas oleh George W. Bush melalui Konferensi Annapolis, yang mendukung eksistensi dua negara (two-state solution).[8] Usaha yang akan dilakukan Obama tentunya tidak akan mudah. Resistensi yang muncul dari masing-masing entitas Palestina dan Israel terhadap satu sama lain akan mempersulit upaya diplomasi untuk mewujudkan perdamaian. Selain itu konflik internal di Palestina antara Fatah dan Hamas juga menghambat kelancaran proses perdamaian.

Berbagai permasalahan dalam konflik Palestina-Israel tersebut tentunya membutuhkan pendekatan yang berbeda-beda. AS harus mampu menekan Israel untuk mau menarik seluruh pemukimannya (settlements) dari wilayah Tepi Barat, karena kehadiran pemukiman-pemukiman disana justru mengganggu eksistensi Palestina sebagai sebuah entitas politik yang berdaulat atas wilayahnya.[9] Dengan ditariknya pemukiman Israel dari Tepi Barat, tentunya instalasi militer yang dibuat oleh Israel serta-merta akan ikut ditarik, karena tidak akan ada alasan lagi bagi Israel untuk menempatkan kekuatan militernya (yang sebelumnya digunakan untuk melindungi seluruh pemukiman). Keberadaan tembok pemisah di sepanjang Tepi Barat juga menjadi masalah krusial. Mahkamah Internasional (International Court of Justice – ICJ) telah mengeluarkan sebuah pendapat hukum yang menyatakan bahwa pendirian tembok tersebut telah melanggar hukum internasional, baik customary ataupun international convention.[10] Jalur Gaza yang menjadi wilayah kekuasaan Palestinian National Authority versi Hamas juga menjadi salah satu masalah penting. Meskipun Israel telah menarik seluruh pemukiman dan instalasi militer dari Jalur Gaza melalui kebijakan Unilateral Disengagement Plan, tetapi Israel masih menutup seluruh akses ke Jalur Gaza baik melalui laut ataupun udara.[11] Jerusalem juga menjadi salah satu sorotan karena sifat simboliknya bagi Palestina ataupun Israel. Hal ini pula yang selalu diperjuangkan Palestina agar Jerusalem tetap menjadi ibukota Palestina, dan Israel juga mengklaim hal yang sama.

Apabila Obama mampu menyelesaikan beruntun masalah dalam konflik Palestina-Israel, tentunya perdamaian di Timur Tengah akan segera tercapai, dan peranan AS dalam konflik Timur Tengah lebih berarti daripada sekedar penyelenggaran konferensi perdamaian.

Indonesia dalam Politik Luar Negeri AS di tangan Obama
Sebagian orang di Indonesia mungkin berharap banyak dengan Obama mengingat sejarahnya yang pernah hidup di negara berpenduduk keempat terbanyak di dunia ini. Tetapi harapan itu tentunya berkaitan dengan kebijakan luar negeri AS yang diprediksi akan lebih dekat dengan Indonesia, atau Indonesia mendapatkan “posisi tertentu” dalam pembuatan kebijakan luar negeri AS. Padahal Obama sendiri tidak pernah menyinggung Indonesia sebagai salah satu prioritas utama dalam politik luar negerinya, sehingga sangat tipis kemungkinannya (kalau tidak mau dibilang tidak mungkin) bahwa AS dibawah kepemimpinan Obama akan menjadikan Indonesia sebagai prioritas ataupun partner di kawasan Asia Tenggara.

Tentunya hal tersebut bukanlah tanpa alasan, karena kita sendiri dapat melihat kondisi riil Indonesia yang tidak memiliki posisi strategis dalam konteks kepentingan AS. Yang ada justru dependensi Indonesia atas berbagai kerja AS di tanah air ini. Selain itu, AS sendiri telah memiliki Filipina sebagai partner atau “mata-mata” bagi kepentingannya di Asia Tenggara. Filipina yang strategis dan secara kultural lebih dekat dengan AS tentunya akan lebih menguntungkan dibandingkan harus membangun aliansi dengan Indonesia yang didominasi dengan kaum muslim dan cenderung akan menimbulkan resistensi yang massif. Ditambah lagi dengan ideologi komunis yang semakin usang, tidak ada lagi alasan bagi AS untuk menempatkan basis tambahannya di kawasan Asia Tenggara. Apabila dikaitkan dengan terorisme, selama ini AS telah berhasil menekan Indonesia untuk membasmi terorisme hanya dengan tekanan politik, sehingga sangatlah tidak mungkin bagi AS untuk mau berlelah-lelah menjadikan Indonesia sebagai mitra kerja untuk membasmi terorisme.

Harapan bangsa Indonesia atas kepemimpinan Obama mungkin harus dialihkan ke isu atau wacana lain, sehingga tidak menimbulkan kekecewaan yang serupa seperti kepemimpinan George W. Bush.

Harapan dan Realitas
Tantangan politik luar negeri AS memang menjadi sebuah hal krusial mengingat peranan AS dalam konstalasi politik global. Beban yang dihadapi Obama memang bukan hanya masalah luar negeri, tetapi juga isu-isu domestik. Tetapi semenjak hobi perang Bush dan krisis ekonomi global maka kebijakan luar negeri AS akan dihadapkan dengan sorotan masyarakat internasional karena apa yang terjadi di AS tentunya berimplikasi di seluruh dunia. Tentunya telah banyak kekuatan politik lain yang akan berusaha menyaingi peranan AS sebagai polisi dunia. Rusia semenjak kepemimpinan Vladimir Putin di Kremlin telah menunjukkan taringnya kembali, dan hal yang sama ditunjukkan oleh Dimitry Medvedev. Aliansi pengagum Simon Bolivar di Amerika Latin seperti Venezuela dengan Hugo Chavez (penggagas aliansi), Kuba dengan Raul Castro, Bolivia dengan Evo Morales, dan lainnya telah melahirkan kekuatan politik baru di benua Amerika setelah beberapa dekade didominasi oleh AS. Asia pun telah bangun secara perlahan khususnya Cina dengan perkembangan ekonominya yang begitu pesat. AS tidak lagi menjadi kekuatan unipolar politik global, meskipun masih menjadi negara adidaya. Hegemoni AS atas dunia ini perlahan mulai digerogoti meskipun kita tidak akan bisa mengingkari bahwa peranan AS masih kuat. Harapan menuju dunia yang lebih baik berada sebagian di tangan AS.

Kita tunggu kejutan lain dari Obama.



[1] Majalah Berita Mingguan Tempo Edisi 3-9 November 2008, Efek Bradley dan Kejutan Oktober, hlm.119. Bradley Effect adalah sebuah teori yang didasarkan pada kekalahan Tom Bradley yang mencalonkan diri sebagai Gubernur California pada tahun 1982. Pada saat itu Tom Bradley mendapatkan popularitas yang luar biasa besar, dan berbagai pihak sudah memprediksikan bahwa dia akan menang mudah dalam pemilihan gubernur. Tetapi Bradley justru kalah tipis (sangat tipis) dari George Deukmejian yang akhirnya menjadi Gubernur California.

[2] The New York Times, 2008 Election Dashboard, http://elections.nytimes.com/2008/results/dashboard.html, akses pada 5 November 2008, pkl.22.49 WIB.

[3] Kompas.com, McCain Mengaku Kalah Ucapkan Selamat kepada Obama, http://www.kompas.com/read/xml/2008/11/05/11474933/mccain.mengaku.kalah.ucapkan.selamat.kepada.obama, akses pada 5 November 2008, pkl.22.56 WIB.

[4] Wikipedia.com, Barack Obama , Sr., http://en.wikipedia.org/wiki/Barack_Obama,_Sr., akses pada 5 November 2008, pkl. 23.08 WIB.

[5] Wikipedia.com, War in Afghanistan (2001-present), http://en.wikipedia.org/wiki/War_in_Afghanistan_(2001%E2%80%93present), akses pada 6 November 2008, pkl. 00.16 WIB.

[6] Wikipedia.com, 2003 Invasion of Iraq, http://en.wikipedia.org/wiki/2003_invasion_of_Iraq, akses pada 6 November 2008, pkl. 00.17 WIB.

[7] Wikipedia.com, Bill Clinton, http://en.wikipedia.org/wiki/Bill_Clinton, akses pada 6 November 2008, pkl. 11.18 WIB

[8] Wikipedia.com, Annapolis Conference, http://en.wikipedia.org/wiki/Annapolis_Conference, akses pada 6 November 2008, pkl.12.00WIB.

[9] Foundation for Middle East Peace, Special Report Israeli Settlements in the Occupied Territories A Guide, March 2002.

[10] International Court of Justice, Advisory Opinion on Legal Consequences of the Construction of a Wall in the Occupied Palestinian Territory, 9 July 2004.

[11] Gisha Legal Center for Freedom of Movement, Disengaged Occupiers The Legal Status of Gaza, January 2007

Comments