Rapuhnya Palestina

Serangan bertubi-tubi Israel ke Gaza 4 (empat) hari yang lalu membuka kembali perhatian masyarakat internasional atas konflik Palestina-Israel yang masih terus berlangsung hingga saat ini. Israel memborbardir Gaza sebagai respon atas ditembakkannya roket Qassam oleh milisi Hamas ke wilayah sipil Israel pada 24 Desember 2008. Meskipun dunia telah mengutuk serangan Israel yang telah menewaskan lebih dari 300 orang dan menyebabkan lebih dari 1000 orang luka-luka, Israel tetap meneruskan serangannya ke Gaza hingga, menurut Tzipi Livni, “Hamas dimusnahkan dari Gaza”.

Terjadinya serangan ini merupakan pengulangan pelanggaran atas perjanjian gencatan senjata yang telah dibuat antara Hamas dengan Israel pada Juni 2008, dan nampaknya hal ini akan terus berlangsung untuk sekian lama karena Israel tidak menunjukkan tanda-tanda untuk menghentikan serangannya. Tetapi yang harus diperhatikan pada saat ini bukanlah serangan Israel, yang memang sudah sering dilancarkan oleh Israeli Defense Forces (IDF), tetapi bagaimana eksplisitnya perpecahan yang terjadi diantara masyarakat Palestina itu sendiri.

Hamas vs. Fatah
Perselisihan antara Hamas dengan Fatah sebagai dua faksi yang paling berpengaruh di Palestina memang sudah menjadi konsumsi publik sejak lama. Semenjak kepergian Yasser Arafat, Palestina seperti kehilangan pegangan yang dapat menyatukan perbedaan-perbedaan diantara mereka. Semasa Arafat masih hidup, gesekan yang terjadi diantara Hamas-Fatah memang telah terjadi, tetapi berlangsung dalam level yang sangat kecil dan di tingkatan akar rumput. Tetapi pada saat ini, Palestina seolah-olah telah terbagi menjadi dua, Palestina Tepi Barat (yang dikuasai oleh Fatah) dan Palestina Jalur Gaza (yang dikuasai oleh Hamas). Dikotomi ini tidak hanya terjadi di tingkatan akar rumput saja, tetapi sudah mencapai level elit pemerintahan, sehingga masing-masing wilayah memiliki Palestine Authority (PA) menurut versinya masing-masing.

Gesekan antara Hamas-Fatah yang paling besar dipicu oleh kemenangan Hamas pada Pemilu di tahun 2006. Pada saat itu, Fatah telah kehilangan dukungan dari sebagian masyarakat Palestina karena dinilai tidak mampu menyejahterakan penduduk Palestina, sekaligus bersikap lembek kepada Israel. Sedangkan Hamas mampu menunjukkan citranya sebagai partai yang mampu memberikan kebutuhan riil bagi masyarakat, sekaligus menjaga kehormatan Palestina dengan resistensi yang tinggi terhadap Israel. Melalui sebuah Pemilu yang demokratis, Hamas akhirnya memenangkan Pemilu dan menguasai Parlemen Palestina. Setelah itu gesekan antara Hamas dengan Fatah tak terhindarkan lagi, baik oleh pemimpin-pemimpin politiknya di media massa, maupun bentrokan fisik antara simpatisan dan pendukung dari keduabelah pihak.

Secara ideologis, Hamas dan Fatah memang selalu berseberangan, khususnya dalam memperjuangkan nasib bangsa Palestina dan visi terbentuknya negara Palestina. Hamas menjadikan Islam sebagai landasan gerakannya, dan bertujuan untuk membentuk Palestina sebagai negara Islam, sekaligus menolak eksistensi Israel sebagai sebuah negara. Dalam menjalankan visi dan ideologinya, Hamas lebih banyak menggunakan sayap militernya, sehingga seringkali dianggap melakukan kegiatan terorisme. Sementara itu, Fatah berideologi sekuler, yang bertujuan untuk membentuk sebuah negara Palestina yang terbuka untuk siapa saja. Sifatnya yang sekuler ini diikuti dengan sikap politiknya yang cukup moderat, khususnya dalam interaksi dengan Israel, karena Fatah sebagai faksi terbesar di Palestine Liberation Organization (PLO) mengakui eksistensi dari negara Israel.

Sangat disayangkan ketika Palestina sebagai sebuah entitas yang sedang memperjuangkan nasibnya, kedua kelompok ini justru bertikai satu sama lain. Implikasi yang muncul dari konfrontasi antara Hamas dan Fatah dirasakan oleh penduduk Palestina yang semakin terhimpit dengan konflik-konflik setiap harinya. Kebijakan Israel untuk mendirikan checkpoint hampir di seluruh wilayah Tepi Barat sekaligus penutupan akses terhadap Jalur Gaza telah membuat rakyat Palestina cukup menderita, dan akhirnya harus ditambah dengan perselisihan antara Hamas dan Fatah. Gesekan ini pun akhirnya mempengaruhi masyarakat internasional yang akan memberikan bantuan terhadap Palestina, karena dengan runyamnya kondisi politik domestik di Palestina, maka bantuan yang diberikan akan mubazir karena kedua pihak tidak mau bekerjasama untuk meningkatkan taraf hidup rakyat Palestina. Selain itu, di tingkatan diplomasi internasional, dualisme pemerintahan yang muncul menimbulkan ambiguitas dalam memberikan dukungan politis bagi Palestina.

Perpecahan ini juga berakibat banyak ketika serangan Israel yang terbaru ke Gaza. Pihak Fatah tidak berusaha untuk membantu Gaza karena mayoritas Hamas yang berada di sana. Gaza yang memang tidak memiliki infrastruktur pertahanan yang cukup kuat akhirnya harus bertahan sendirian di tengah gempuran militer Israel. Terpisahnya wilayah Jalur Gaza dan Tepi Barat seolah-olah menegaskan separasi yang berlangsung secara akut diantara Hamas dan Fatah.

Kehadiran Yasser Arafat sebagai pemimpin Palestina di masa hidupnya memang memberikan sebuah keuntungan yang sangat besar bagi Palestina dan tentunya bagi Hamas dan Fatah. Meskipun Arafat berasal dari faksi Fatah, tetapi dia mampu merangkul kalangan Hamas untuk berkolaborasi dalam pemerintahan PA pasca Oslo Accords. Sikap negarawan dan kompromi politik yang ada semasa kepemimpinan Arafat mamppu menekan level gesekan antara Hamas dengan Fatah, sehingga perbedaan ideologis diantara keduanya hampir tidak terasa. Namun Palestina tidak lagi memiliki tokoh sekaliber Arafat untuk mempersatukan seluruh Palestina tanpa adanya dikotomi antara faksi-faksi.

Apa Yang Akan Terjadi?
Perbedaan dalam politik adalah sebuah hal yang wajar, bahkan perlu. Tetapi ketika perbedaan tersebut justru mengakibatkan separasi yang sedemikian parah, maka sudah seharusnya diadakan sebuah proses dialog untuk menjembatani perbedaan tersebut. Perpecahan antara Hamas dan Fatah tidak memberikan sebuah titik terang bagi terwujudnya Negara Palestina Merdeka, karena mereka justru disibukkan dengan konflik politik domestik. Yang akhirnya harus menanggung dampak dari perselisihan antara Hamas dan Fatah adalah penduduk dari Palestina itu sendiri, yang telah begitu lelah menghadapi tekanan Israel dalam kehidupan sehari-harinya dan harus melihat konflik antara Hamas-Fatah pada waktu yang bersamaan.

Perpecahan ini pun telah mementahkan proses perdamaian yang begitu panjang diantara Palestina dan Israel. Puluhan dokumen perdamaian yang ditandatangani seakan menjadi klausul-klausul impoten karena elit Palestina sendiri enggan untuk menciptakan pemerintahan yang utuh dan solid.

Apabila perselisihan antara Hamas dan Fatah terus berlangsung tanpa menunjukkan tanda-tanda penyelesaian, maka terwujudnya Palestina Merdeka masih harus menunggu waktu yang cukup lama, dan penduduk Palestina harus merasakan penderitaan yang semakin menumpuk. Serangan Israel ini mungkin hanya sekedar inisiasi untuk merebut kembali wilayah Palestina apabila Hamas dan Fatah tetap disibukkan dengan perpecahan politik.

Untuk mewujudkan sebuah negara Palestina, elit dari Fatah dan Hamas harus mampu mencairkan perbedaan diantara mereka, sehingga titik terang yang pernah muncul pada masa kepemimpinan Yasser Arafat dapat terbuka kembali untuk merealisasikan negara Palestina merdeka. Tentunya tanpa harus mengorbankan ideologi masing-masing.

Semoga perjuangan Yasser Arafat tidak sia-sia.

Referensi

Burdah, Ibnu, Konflik Timur Tengah Aktor Isu dan Dimensi Konflik, Tiara Wacana, Jakarta, 2008

Sihbudi, Riza, Menyandera Timur Tengah, Mizan, Jakarta, 2007

Comments