Satu Windu Kebijakan AS di Timur Tengah
Semasa pemerintahan George W. Bush, kebijakan luar negeri AS di Timur Tengah didominasi oleh keberadaan mereka di Irak, meskipun tidak mengenyampingkan isu-isu lain seperti konflik Palestina-Israel, proliferasi nuklir Iran, dan juga radikalisme Islam di wilayah Timur Tengah. Hal ini sangat kontras apabila dibandingkan dengan masa pemerintahan Bill Clinton yang dianggap berbagai kalangan konservatif terlalu “lembek”. Bush mulai mengimplementasikan kebijakannya di Irak semenjak tahun 2003 melalui Operation Iraqi Freedom, masih pada periode pemerintahannya yang pertama. Kebijakan yang dicap orang sebagai agresi terhadap Irak ini, didasarkan kepada hasil laporan intelijen yang menyatakan bahwa Irak dibawah pemerintahan Saddam Hussein telah memiliki senjata biologis, yang lebih populer dengan sebutan senjata pemusnah massal (weapons of mass destruction / WMD). Entah karena laporan intelijen yang begitu meyakinkan, atau karena dendam pribadi ketika Bush Senior tidak mampu mengalahkan Saddam dengan mutlak pada Perang Teluk 1990an, Bush terus menerus menjalankan kebijakannya di Irak. Padahal hingga turunnya dia dari jabatan presiden AS, WMD yang diwacanakan sebelum serangan ke Irak tidak pernah ditemukan. Perang selama 5 (lima) tahun, telah meruntuhkan sendi perekonomian AS, karena mayoritas dari anggaran belanja negara terserap untuk membiayai Perang Irak. Hal ini pula yang menjadi salah satu faktor hancurnya ekonomi AS ketika dunia terkena krisis ekonomi global di tahun 2008. Bush sendiri telah banyak dikritik oleh berbagai kalangan setelah WMD yang diisukan tidak terbukti, khususnya untuk meminta Bush menghentikan pendudukannya di Irak karena AS tidak lagi memiliki alasan sekuat WMD. Hingga menjelang inaugurasi Barack Obama sebagai presiden AS periode selanjutnya, tidak ada keinginan dari Bush untuk sesegera mungkin menghentikan okupasinya di Irak.
Dalam menghadapi situasi yang serius di tanah Palestina, Bush tetap melakukan apa yang telah dibuat oleh para pendahulunya, yaitu sebuah konferensi perdamaian yang melibatkan berbagai broker untuk mendamaikan Palestina dengan Israel. Langkah Bush untuk membuat Konferensi Annapolis memang tidak istimewa jika dibandingkan dengan periode Clinton, yang berhasil membuat Declaration of Principles atau yang lebih dikenal dengan Oslo Accords. Tetapi dalam konferensi ini, Bush berhasil memasukkan klausul yang tidak pernah ada dalam sejarah proses perdamaian sebelumnya, yaitu direalisasikannya “solusi dua negara” (two-state solution), sekaligus menyelesaikan permasalahan di Palestina sebelum tahun 2008. Bush sendiri terlihat tidak serius dalam menjalankan Konferensi Annapolis, karena hanya terlihat meneruskan kebijakan pendahulunya, sehingga apa yang dikemukakan di Annapolis tidak pernah terwujud hingga bergantinya tahun 2008 ke 2009. Selebih itu, tidak ada lagi langkah-langkah nyata yang dilakukan oleh Bush untuk menyelesaikan masalah Palestina.
Mengenai isu nuklir Iran, usaha yang paling nyata ditunjukkan oleh AS adalah dengan memasukkan permasalahan ini ke dalam Sidang Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB). Meskipun AS sendiri memiliki program pengayaan nuklir, entah mengapa Iran menjadi sasaran utama AS dalam memperluas pengaruhnya untuk meminimalisasi pengayaan nuklir diluar AS. Pengaruh AS yang begitu besar dalam DK PBB telah berhasil meloloskan Resolusi 1747 DK PBB untuk memberikan sanksi kepada Iran atas pengayaan nuklirnya, meskipun International Atomic Energy Agency (IAEA) telah melaporkan hal yang sebaliknya. Begitu besarnya pengaruh AS, hingga Indonesia sendiri mendukung resolusi ini. Ahmadinejad yang memang selalu berseberangan dengan AS semenjak dirinya menjabat sebagai Presiden Iran, nampaknya tidak gentar menghadapi serangan AS melalui jalur diplomatik PBB ini. Pengayaan nuklir yang telah dikenakan sanksi nampaknya akan terus berjalan, seiring dengan masih menjabatnya Ahmadinejad sebagai presiden, hal yang juga diamini oleh Ayatullah sebagai pemimpin tertinggi Iran. Tetapi, AS sendiri belum berhasil menjamah Iran secara nyata selayaknya agresi yang mereka lakukan terhadap Irak di tahun 2003.
Kebijakan AS lainnya yang juga mendominasi pemerintahan Bush adalah Perang Afghanistan di tahun 2001 pasca penyerangan terhadap World Trade Center (WTC). Bush menyerang Afghanistan karena menganggap bahwa Osama bin Laden sebagai pemimpin Taliban bersembunyi disana. Dan sama seperti agresi ke Irak di tahun 2003, AS tidak mendapatkan hasil apa-apa dari Afghanistan selain menumbangkan rezim Taliban dan menghasilkan krisis sosial yang baru. Sebenarnya, Afghanistan sendiri tidak terlalu jelas untuk dimasukkan dalam kawasan geopolitik tertentu. Ada yang mengatakan bahwa Afghanistan dapat dikategorikan ke dalam Timur Tengah, tetapi pendapat lain menyatakan bahwa Afghanistan lebih tepat untuk dimasukkan ke kawasan Asia Barat.
TAHUN | KEBIJAKAN LUAR NEGERI | HASIL |
2001 | Agresi ke Afghanistan pasca serangan 9/11. AS bertujuan untuk menangkap Osama bin Laden yang mengklaim bahwa 9/11 adalah tanggung jawab dari Taliban. | Gagal. AS tidak berhasil menangkap Osama bin Laden. |
2003 | Agresi ke Irak, untuk menjatuhkan Saddam Hussein dan mencari WMD | Saddam berhasil digulingkan dan dikenai hukuman melalui pengadilan hibrid. Tetapi hingga saat ini WMD tidak pernah ditemukan |
2007 | Resolusi 1747 DK PBB, memberikan sanksi kepada Iran atas program pengayaan nuklir | PBB memberikan sanksi, tetapi program nuklir Iran tetap berjalan. Ahmadinejad tetap berseberangan dengan AS. |
2008 | Konferensi Annapolis untuk menyelesaikan konflik Palestina-Israel. | Gagal. Kesepakatan untuk menyelesaikan konflik sebelum tahun 2009 tidak terwujud. |
Minimnya hasil positif yang dicapai berkenaan dengan kebijakan luar negeri AS di Timur Tengah telah menimbulkan keraguan atas AS untuk memainkan peranannya sebagai polisi dunia, sekaligus menimbulkan kekuatan-kekuatan baru di Timur Tengah yang berani untuk melawan AS seperti Partai Hizbullah di Lebanon, Iran melalui Ahmadinejad sekaligus aliansinya dengan Suriah.
Quo Vadis
Sudah menjadi rahasia umum bahwa AS selalu menerapkan standar ganda terhadap wacana-wacana yang mereka gulirkan sendiri. Sehingga mengharapkan AS untuk bisa mengubah kebijakannya adalah harapan yang nyaris mustahil. Meski demikian ada beberapa hal yang harus dilakukan oleh AS dan menjadi perhatian masyarakat internasional untuk menekan AS.
Penarikan tentara dari Irak. Apa yang AS lakukan di Irak tidak memberikan dampak apa-apa bagi masyarakat Irak. Meskipun memakai topeng demokrasi, yang ada sesungguhnya disana hanyalah chaos dan anarki. Krisis sosial justru semakin berkepanjangan, konflik antar suku, perebutan kekuasaan di pemerintahan, ketidakstabilan politik dan ekonomi menjadi santapan sehari-hari warga Irak. Hal itu semakin diperparah dengan gesekan-gesekan antara rakyat Irak dengan militer AS yang berada di sana. Obama sendiri telah menjanjikan penarikan tentara AS secara bertahap dari Irak. Penarikan ini akan memperbaiki citra AS di mata internasional, sekaligus mereduksi kerugian finansial yang harus ditanggung oleh AS akibat membiayai perang ini. Selain itu, memberikan otonomi sepenuhnya bagi warga Irak untuk menentukan nasibnya sendiri (self-determination), dan menghindari gesekan berkepanjangan antara militer AS dengan warga sipil atau milisi atau militer Irak itu sendiri.
Penyelesaian masalah Palestina. Timur Tengah akan selalu bergejolak apabila pertikaian antara Palestina dengan Israel masih terus berlansung. Karena keduanya berada di jantung Timur Tengah, dan apa yang terjadi disana akan selalu berpengaruh ke negara lainnya. Jika masalah Palestina berhasil diselesaikan melalui pembentukan Negara Palestina Merdeka dengan Jerusalem Timur sebagai ibukotanya, atau mungkin kembali lagi ke Resolusi 181 Majelis Umum PBB (UN Partition Plan 1947)), maka Timur Tengah sepenuhnya akan lebih terkendali. Karena tak dapat dipungkiri, perlawanan dari Hizbullah ataupun aliansi Suriah-Iran lahir sebagai reaksi atas berlarut-larutnya konflik antara Palestina dengan Israel. Akan sangat menggembirakan apabila AS berhasil membuat Oslo Accords lanjutan yang mendamaikan kedua belah pihak.
Settling with Iran. Ahmadinejad telah menjadi musuh baru AS yang cukup garang. Dengan dibekali minyak bumi yang memadai sekaligus sumber daya yang mencukupi dalam pengayaan nuklir, Iran cukup percaya diri untuk menentang hegemoni AS atas politik internasional selama ini. Tetapi reaksi AS yang ditunjukkan justru membuat Iran semakin berani, dan memperpanas eskalasi konflik diantara keduanya terutama di tingkat diplomasi internasional. AS seharusnya mampu menyelesaikan masalahnya dengan Irak dengan cara yang lebih diplomatis, yaitu melalui perundingan-perundingan baik dengan ataupun tanpa pihak ketiga. Dengan demikian tidak ada lagi musuh-musuh baru yang justru membuat kondisi Timur Tengah semakin memanas.
Konklusi
Perubahan arah politik luar negeri AS secara fundamental menjadi sebuah keharusan untuk bisa mewujudkan kawasan Timur Tengah yang lebih damai dan bersahabat. Jika hal ini bisa terwujud, harapan akan terbentuknya dunia yang lebih baik akan semakin dekat dengan kenyataan.
Comments
Post a Comment