Swing Vote (2008)


One man one vote. Every vote counts. Vox populi vox dei.

Jargon-jargon diatas adalah suguhan rutin yang kita konsumsi ketika membicarakan kontes perayaan demokrasi, yaitu Pemilu. Tentunya, tingkat konsumsi kita akan semakin meningkat apabila waktu pemilihan semakin dekat menjelang. 

Suguhan itu tentunya tidak hanya hadir di Indonesia yang sedang dibanjiri oleh ribuan calon anggota legislatif dan calon presiden dalam rangka Pemilu 2009, tetapi juga tetap eksis di negara demokrasi tua seperti Amerika Serikat (AS). Film berjudul Swing Vote ini menjadi contohnya, ketika suara dari satu orang sangat menentukan hasil akhir dari pemilihan presiden di negara adidaya itu.

Informasi mengenai film ini tidak saya dapatkan dari majalah-majalah yang mengulas film, ataupun dari situs internet. Secara tidak sengaja, saya melihat film ini di deretan penjual DVD (bajakan) di kawasan Dalem Kaum Bandung. Cover-nya mengingatkan saya akan film Recount yang telah saya ulas sebelumnya. 

Seperti biasa, sinopsis di bagian belakang sampul DVD menjadi sebuah kewajiban untuk dibaca demi menghindari “kucing dalam karung”. Sinopsis yang saya baca saat itu sedikit mengingatkan saya atas film Recount, karena keduanya sama-sama menceritakan tentang permasalahan yang terjadi pada saat pemilihan presiden AS. Bedanya, Recount dibuat berdasarkan kejadian nyata yang terjadi di tahun 2000 antara Al Gore melawan George W. Bush, sedangkan Swing Vote merupakan film yang sepenuhnya fiksi.

Swing Vote menceritakan tentang masalah yang terjadi ketika diadakan pemilihan presiden AS di Texico, yang merupakan kota kecil di negara bagian New Mexico. Permasalahan ini bermula ketika Molly, seorang murid sekolah dasar yang belum memiliki hak untuk memilih, menyelinap ke bilik suara ketika penjaga TPS sedang lengah. 

Dengan menggunakan identitas ayahnya (Bud Johnson, diperankan oleh Kevin Costner), dia mengambil surat suara dan bermaksud untuk memberikan suaranya. Tetapi pada saat dia akan memilih, petugas kebersihan di TPS tersebut tidak sengaja menyandung kabel, yang akhirnya menyebabkan mesin untuk memberikan pilihan mati seketika. Kertas suara yang terlanjur masuk ke mesin akhirnya dibiarkan begitu saja oleh Molly. Dari situlah cerita dimulai.

Karena surat suara yang dia masukkan tidak dapat dihitung, maka pemenang di negara bagian New Mexico tidak bisa diputuskan, dan hal itu secara otomatis membuat hasil akhir secara nasional pun tertunda. Singkat kata, pemenang dari pemilihan presiden AS ditentukan oleh hasil negara bagian New Mexico, yang ditentukan oleh satu suara John. Ada tenggat waktu sebanyak 10 hari yang diberikan bagi John untuk melakukan pemilihan ulang, yang akan menentukan hasil akhir dari New Mexico. Dan selama 10 hari itulah cerita dimulai.

Kedua kandidat dari Demokrat dan Republik berusaha merebut simpati John dengan berbagai macam cara. Mengajaknya naik ke Air Force One, bertemu dengan pembalap terkenal, mendapatkan suplai makanan yang banyak, dan apapun keinginannya pasti dipenuhi oleh masing-masing kandidat dan timnya. 

John pun menerima liputan dari media-media besar AS, seperti CNN, CNBC, NBC, dan lainnya selama 24 jam non-stop ketika tenggat waktu itu berlangsung. Liputan media ini juga disertai dengan banyaknya surat untuk John yang berisi berbagai macam keluhan-keluhan, yang diharapkan agar John memilih calon tertentu yang sesuai dengan harapan mereka.

Dalam kurun waktu 10 hari tersebut, masing-masing kandidat dideskripsikan sangat kompromistis terhadap isu-isu yang mereka bawa. Misalnya, kandidat dari Partai Demokrat yang biasanya mendukung aborsi tiba-tiba merubah platform dengan menentangnya. Lalu kandidat dari Partai Republik yang biasanya sangat menolak pernikahan sejenis tiba-tiba mendukung pasangan gay dan lesbian.

Dengan berbagai tekanan dari media, publik, dan anaknya, akhirnya John meminta kedua kandidat untuk melaksanakan debat terakhir sebelum John memberikan suara keesokan harinya. Debat itu diisi dengan pertanyaan-pertanyaan dari John yang disaring dari berbagai surat yang masuk dalam 10 hari tersebut. Pemenang dari pemilihan presiden itu sendiri tidak diketahui hingga akhir cerita.

Ada dua hal yang menggelitik saya ketika menonton film ini. Yang pertama adalah masalah mengenai satu surat suara yang dapat mempengaruhi pemilihan seluruh negara bagian. Sedangkan yang kedua yaitu mengenai tendensi si calon presiden untuk mengubah platform dan idealisme politiknya demi sebuah kedudukan.

Satu surat suara yang gagal dihitung dalam film ini digambarkan sangat menentukan untuk hasil akhir dari negara bagian New Mexico. Dalam kenyataannya, hal tersebut tidak mungkin terjadi dalam bentuk pemilihan manapun. 

Jika suara yang diberikan oleh John dapat mempengaruhi hasil akhir, maka penghitungan sementara akan menunjukkan posisi yang seimbang antara kedua kandidat. Hal ini sangat kecil kemungkinannya, bahkan di sebuah kota kecil yang memiliki jumlah penduduk sangat sedikit. Mungkin hanya keajaiban yang bisa mengakibatkan adanya hasil imbang dalam sebuah pemilihan presiden.

Selain itu, kondisi ini mengesampingkan ratusan surat suara di tempat lain yang pasti juga mengalami hal serupa, yaitu tidak sah. Tidaklah mungkin satu surat suara tidak sah atau tidak terhitung menjadi penentu hasil akhir dari sebuah pemilihan, sementara di tempat lain hal yang serupa pun ikut terjadi. 

Ini adalah kekonyolan statistik yang didramatisasi secara berlebihan oleh Hollywood. Para pollsters atau pelaksana survey di Indonesia, pasti sependapat dengan saya mengenai kekonyolan ini. Jadi skenario ini tidak akan pernah terjadi di belahan bumi manapun yang melaksanakan pemilu.

Yang menarik justru bagaimana kedua kandidat melaksanakan kampanye ketika tenggat waktu 10 hari sedang berjalan. Dalam pemilihan-pemilihan yang berlangsung “normal”, tidaklah mungkin untuk mengubah program kampanye secara dramatis seperti yang ada dalam film ini. Tetapi film ini menyajikan sebuah kenyataan pahit, bahwa ketika seseorang dihadapkan pada kondisi politik yang kritis, maka apapun akan rela dia lakukan. 

Hal ini sesungguhnya lumrah terjadi, khususnya di Indonesia. Hanya saja, yang terjadi di Indonesia lebih sekedar bersifat “ikut-ikutan”. Misalnya, sedang ramai membuat bagi-bagi sembako, maka yang lain pun ikut melakukan hal yang sama. Tetapi hal-hal itu sama-sama menunjukkan adanya pragmatisme politik yang terjadi di kalangan politisi. 

Selama ada peluang untuk berkuasa, maka platform dan idealisme menjadi tidak penting, asalkan pemilih menjatuhkan pilihan pada dirinya. Hal ini mungkin tidak teralu sering terjadi di AS, yang menganut sistem dua partai. Tetapi di Indonesia, pindah-pindah haluan demi kursi menjadi hal yang lumrah. Satu saat ingin menjadi religius, lalu di kesempatan lain menjadi nasionalis, dan sebaliknya. 

Watak ini dipertontonkan secar gamblang dalam Swing Vote. Hanya saja, kandidat dalam Swing Vote tidak membuat baligo dan poster yang menampangkan wajah kaku dan slogan-slogan tidak berarti, seperti yang dilakukan oleh politisi-politisi kita.

Sebagai hiburan, Swing Vote memang memberikan opsi yang cukup menarik. Tetapi jika dibandingkan dengan film sejenis (misalnya Recount), Swing Vote hanya sekedar menjadi penggembira saja.

Comments