Editorial : Histeria Ujian Nasional

Pengumuman hasil Ujian Nasional (UN) yang selama ini menjadi headline di berbagai media massa, telah menimbulkan kekuatiran di kalangan masyarakat. Apakah UN tetap akan menjadi “monster” bagi mereka yang sedang menjalani pendidikan, khususnya di tingkat akhir?

Status lulus/tidak lulus yang diterapkan di UN dimulai pada tahun 2003. Sebelum tahun 2003, status yang diperoleh siswa adalah tamat, yang berarti semua sudah pasti lulus dan bisa melanjutkan pendidikan ke tingkat selanjutnya.

Penulis termasuk angkatan pertama yang harus menghadapi kebijakan lulus/tidak lulus, dan pada saat itu batas lulus untuk setiap pelajaran adalah 3.00. Sebagai contoh, pada tahun 2003 penulis menghadapi 3 (tiga) mata pelajaran dalam UN, yaitu Matematika, Bahasa Indonesia, dan Bahasa Inggris.

Apabila Matematika mendapatkan nilai 10 namun Bahasa Indonesia hanya mendapatkan 2.5, maka siswa akan dinyatakan tidak lulus. Sedangkan pada UN tahun ini, batas kelulusan sudah jauh meningkat menjadi 5.00

Saya sendiri sepakat dengan adanya batas kelulusan yang diterapkan dalam UN. Karena dengan adanya batas kelulusan, maka murid akan terdorong untuk belajar dengan lebih giat sekaligus meningkatkan kualitas pemahamannya atas materi yang diajarkan.

Namun apakah penerapan batas kelulusan telah diimbangi dengan pelaksanaan pendidikan yang tepat? Apakah materi yang diajarkan selama proses belajar mengajar akan keluar di UN? Apakah kualitas pendidikan telah merata di seluruh Indonesia?

Meskipun konstitusi telah mengamanatkan 20% APBN dialokasikan untuk anggaran pendidikan, pada kenyataannya tidak ada perubahan fundamental yang dapat dilihat dalam dunia pendidikan di Indonesia. Dari hal-hal yang bersifat kuantitatif, misalnya bangunan sekolah, jumlah guru, dan fasilitas sekolah, kondisinya tidak berubah hingga saat ini.

Tentu hal ini berbanding lurus dengan hal-hal kualitatif seperti kualitas guru, kualitas proses belajar mengajar dan hal lainnya. Stagnasi itu diperparah dengan kebijakan kurikulum yang selalu berganti. Istilah kerennya, Ganti Menteri Ganti Kurikulum.

Nampaknya setiap Menteri ingin mendulang keuntungan dari “proyek” penggantian kurikulum, tanpa memperhitungkan kesulitan guru dan murid yang harus beradaptasi dengan kurikulum baru, padahal kurikulum sebelumnya pun belum dikuasai dengan baik. Kondisi faktual itu dapat ditemukan di kota-kota besar, sehingga tak dapat dibayangkan seperti apa kondisi di desa-desa di wilayah yang tertinggal dan jauh dari modernisasi kota, dimana satu sekolah hanya memiliki seorang guru saja.

Apakah UN harus dihapuskan dari pendidikan Indonesia? Tentu tidak.

Negara-negara lain yang sudah jauh lebih maju tetap mengadakan semacam UN dalam pendidikannya. Tapi negara-negara itu mengimbanginya dengan kualitas pendidikan yang mumpuni, sehingga tidak ada lagi kehisterisan yang muncul dari siswa yang mendapatkan hasil UN.

Hal yang harus dilakukan adalah bagaimana pemerintah mampu memperbaiki berbagai permasalahan yang selama ini muncul, misalnya dengan mengontrol kucuran dana dari pusat untuk pendidikan di daerah-daerah, lalu peningkatan kualitas guru melalui berbagai pelatihan yang tentunya diimbangi penambahan jumlah guru sehingga dapat merata di seluruh Indonesia.

Tidak hanya itu, pemerintah harus mampu mengakomodasi berbagai sistem alternatif yang digagas oleh masyarakat di luar sekolah resmi yang diakreditasi oleh pemerintah. Sifat birokratis dan akutnya KKN yang melanda Dinas Pendidikan telah menjadi penyebab sekolah-sekolah alternatif tidak diperkenankan untuk beroperasi di kalangan masyarakat.

Padahal tak jarang sekolah-sekolah itu justru mampu memberikan keuntungan bagi masyarakat, karena lahir ide-ide yang berkembang di masyarakat dan tidak dipaksa untuk melaksanakan kurikulum pusat yang kadang tidak sesuai dengan kebutuhan mereka.

Mari kita lihat, apakah pemerintahan 2009-2014 akan mampu menyelesaikan permasalahan pendidikan di Indonesia.

Comments