Editorial : 64 Tahun Republik Indonesia, Pancasila, dan Gerakan Mahasiswa

17 Agustus adalah sebuah momen bagi bangsa Indonesia untuk memperingati lepasnya Indonesia dari imperialisme asing, dan tahun ini momen tersebut telah dirayakan untuk yang ke 64 kalinya.

Kemerdekaan Indonesia disadari sebagai sebuah keharusan oleh founding fathers dengan berdasarkan pada hak setiap negara untuk menentukan nasibnya sendiri. Founding fathers kita telah menyadari pentingnya determinasi bagi sebuah bangsa sebelum adanya Universal Declaration of Human Rights (UDHR) 1948.

Meskipun banyak pihak yang skeptis mengenai 17 Agustus, terutama karena kemerdekaan yang diproklamasikan terkesan sebagai “durian runtuh” yang disebabkan oleh vacuum of power, kemerdekaan ini mempunyai makna yang dalam bagi kehidupan bangsa Indonesia selanjutnya untuk menentukan tujuan hidup bangsa.

Dengan landasan proklamasi tersebut, founding fathers Indonesia mengesahkan berbagai elemen-elemen dasar bagi sebuah negara seperti ideologi negara, konstitusi, pemerintah, wilayah, dan lainnya.

Salah satu elemen, yaitu ideologi negara, dinamakan dengan Pancasila. Sebuah Ideologi yang mempunyai makna filosofis yang sangat dalam, dan amat sangat sulit untuk diimplementasikan secara konkrit dalam kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia dari dulu sampai sekarang.

Pancasila sebagai sebuah ideologi telah mengalami gejolak yang mewarnai sejarah kehidupan Indonesia. Dalam beberapa kurun waktu, Pancasila tetap diposisikan sebagai ideologi negara tanpa ada pertentangan apapun. Tapi di waktu lain, ia justru ditempatkan dibawah paham lain, malah di periode lain ia ditempatkan sebagai supra-reliji.

Awal berdirinya Indonesia, Pancasila merupakan ideologi pemersatu bangsa. Golongan – golongan nasionalis maupun fundamentalis agama mampu menerima ideologi ini untuk melangsungkan kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia. Kondisi ini dapat bertahan untuk beberapa waktu sampai pada akhirnya Indonesia tiba pada suatu kondisi yang mereduksi Pancasila menjadi Ekasila.

Hal ini juga disebabkan influens yang didapat dari pihak luar, sehingga pemimpin Indonesia saat itu ingin mempersatukan semua golongan di Indonesia secara lebih praktis, yang ternyata justru membuat perpecahan diantara golongan yang ingin dirangkul itu semakin meruncing.

Melewati periode tersebut, Pancasila akhirnya mendapat tempat yang proporsional untuk beberapa tahun saja sebelum akhirnya diposisikan secara berlebihan. Pancasila seakan telah menjadi sebuah “agama” baru bagi bangsa Indonesia, sehingga siapapun yang memberikan kritik terhadap Pancasila (baik konsep maupun implementasi), akan dianggap bid’ah bagi pemegang tafsir Pancasila pada saat itu (pemerintah). Tapi dalam periode ini, Pancasila hanya bergerak dalam tataran teoritis saja. Meski dianggap sebagai sebuah supra-reliji, implementasi dari Pancasila tidak pernah ada secara riil oleh pemegang tafsir.

Dua kondisi terakhir, telah membuat orang banyak kehilangan kepercayaan terhadap Pancasila sebagai ideologi negara. Peristiwa bebasnya Indonesia dari sebuah hegemoni kekuasaan secara yuridis pada 1998, telah membuat orang berpikir sudah saatnya untuk membebaskan diri juga dari ideologi yang telah mengekang kehidupan masyarakat Indonesia, bahkan cenderung dalam tataran cuci otak.

Pancasila telah mulai kehilangan arah, ketika generasi – generasi yang telah sukses menumbangkan hegemoni tersebut justru sibuk dengan pemikiran – pemikiran mereka sendiri dalam mencari sebuah falsafah hidup. Berbagai macam konsepsi falsafah bermunculan pasca jatuhnya hegemoni tersebut, pusat – pusat literasi menerbitkan berbagai buku mengenai paham – paham besar yang pernah lahir dan bertumbuh di dunia ini, baik yang disebut sebagai “kiri”, “tengah”, ataupun “kanan”. Generasi muda telah mengabaikan sebuah konsep yang lahir dari kondisi faktual bangsa Indonesia yang masih relevan hingga sekarang.

Generasi muda, khususnya mahasiswa adalah sebuah kelompok dalam masyarakat yang dalam sejarah Indonesia adalah motor bagi sebuah progresifitas masyarakat. Kelompok inilah yang telah membuat sejarah bagi bangsa Indonesia, baik itu masa sebelum kemerdekaan, maupun setelah kemerdekaan. Tanpa adanya golongan ini, sebuah kekuasaan yang otoriter di Indonesia tidak akan pernah tumbang.

Namun dengan curriculum vitae-nya yang seperti itu, kelompok mahasiswa pada saat ini seakan kehilangan arah dan tidak mempunyai cita – cita bersama. Berbagai sub-kelompok dalam mahasiswa yang bergerak dengan mengatasnamakan golongan, semakin jelas telah melupakan statusnya sebagai kelompok yang bertugas sebagai penyembuh bagi penyakit bangsa ini.

Mereka justru memprioritaskan kepentingan golongan mereka sendiri, baru kemudian memikirkan kepentingan yang lain. Kondisi ini diperparah dengan adanya kecenderungan saling menjelek – jelekkan antara kelompok yang satu, dengan kelompok yang lain. Bahkan di dalam sub-kelompok mereka sendiri, mahasiswa bisa saling menyudutkan hanya karena terpisah secara keorganisasian.

Track record mahasiswa sebagai pelaku progresifitas, seakan tidak dapat dipertanggungjawabkan pada saat ini dan menjadi semakin “abstrak” jika dibenturkan pada kondisi faktual. Hal ini disebabkan tidak adanya kesinergisan frame berpikir diantara mahasiswa itu sendiri.

Frame berpikir ini bertitik tolak dari sebuah visi yang seharusnya sudah bisa dimengerti oleh mahasiswa tanpa harus ada penegasan secara eksplisit dalam nota kesepahaman tertentu. Mahasiswa sebagai gerakan moral, seharusnya mampu mengerti visi apa yang harus dicapai, sehingga dengan adanya kesamaan visi itu, frame berpikir dapat disinergiskan dan menghasilkan keluaran yang optimum dari perjuangan seluruh kelompok dan sub-kelompok mahasiswa.

Apakah ada relevansinya antara stagnasi Indonesia di umur yang ke-64 tahun ini, dengan semakin biasnya status Pancasila sebagai ideologi bangsa dan negara, dan dengan semakin abstraknya perjuangan mahasiswa Indonesia pada saat ini ? Jelas ada.

Indonesia telah kehilangan falsafah hidupnya, yang menyebabkan hilangnya tujuan bagi keberlangsungan negara dan bangsa ini. Falsafah yang masih kita akui dari dulu sampai sekarang adalah Pancasila. Namun hanya sekedar sebuah slogan retoris, tanpa ada pemaknaan dan implementasi dalam kehidupan riil.

Seperti yang kita tahu, Pancasila merupakan mata kuliah yang pasti ada di setiap perguruan tinggi, yang dikenal dengan sebutan Mata Kuliah Dasar Umum atau MKDU. Kehadiran mata kuliah ini (perguruan tinggi mempunyai otonomi untuk menentukan di semester mana Pancasila ditetapkan sebagai mata kuliah wajib), seharusnya bisa menjadi landasan visi bagi mahasiswa Indonesia (tanpa memandang kelompok manapun) untuk bisa membangun bangsa dan negara ini ke arah yang lebih baik.

Tetapi, Pancasila sebagai mata kuliah hanya dianggap sebagai sebuah formalitas belaka. Mahasiswa tidak lagi menganggap Pancasila itu penting, karena sudah terlanjur memiliki stigma bahwa Pancasila adalah alat untuk melegitimasi rejim Orde Baru dalam melanggengkan kekuasaannya selama 32 tahun, ada juga yang menganggap bahwa Pancasila sudah tidak relevan lagi dengan kondisi masyarakat Indonesia pada saat ini, ada juga yang tidak mengambil peduli apakah Pancasila ada atau tidak.

Kondisi internal dalam kemahasiswaan seperti inilah, yang membuat akhirnya perjuangan mahasiswa menjadi sporadis, tidak sinergis, dan berorientasi kelompok.

Mahasiswa tidak lagi menjadi sebuah kekuatan penyeimbang bagi pemegang kekuasaan.

Mahasiswa tidak lagi dapat dijadikan andalan bagi masyarakat untuk memperbaiki kehidupan mereka tanpa harus berkoar – koar di sidang dewan yang terhormat.

Mahasiswa tidak lagi dianggap sebagai bagian dari masyarakat yang mampu menyalurkan aspirasi mereka, selain hanya sekedar berdemonstrasi untuk mencari kepopuleran dan eksistensi semata.

Mahasiswa pada saat ini hanyalah menjadi sebuah kelompok menengah, yang mengkultuskan dirinya sebagai kelompok intelektual salon yang sekedar berkutat di depan buku semata, atau golongan konsumeris tanpa melakukan hal yang produktif dan aplikatif bagi dirinya dan bagi masyarakat.

Misorientasi perjuangan?? Semoga hanya sesaat.


Pirhot Nababan
Wakil Ketua I BPC GMKI Bandung Masa Bakti 2006-2007
Kepala Departemen Informasi dan Komunikasi BEM FH Unpad 2006-2007


(tulisan ini telah dimuat di majalah online FOKAL MAGAZINE, edisi khusus 17 Agustus 2009 : klik di sini)

Comments