Pencemaran Nama Baik

Kasus antara Prita Mulyasari versus Rumah Sakit Omni Internasional (RS Omni), kembali mencuatkan salah satu tindak pidana, yang dikenal dengan “Pencemaran Nama Baik”.

Masyarakat terlanjur mengenal istilah itu karena media massa telah menggunakannya secara populis sebagai bahasa pers.

Untuk lebih jelasnya, Kitab Undang Hukum Pidana (KUHP) menyatakan dalam pasal 310 angka (1) :
“Barang siapa sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan menuduhkan sesuatu hal, yang maksudnya terang supaya hal itu diketahui umum, diancam karena pencemaran dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.”

KUHP sendiri mengatur lebih spesifik mengenai pencemaran nama baik dalam pasal-pasal selanjutnya. Bagaimana sesungguhnya pemahaman atas “pencemaran nama baik”?

Hukum pidana adalah bagian dari hukum publik, sehingga telah menjadi fitrahnya untuk melindungi kepentingan masyarakat umum. Pencemaran nama baik merupakan salah satu bentuk “pembunuhan karakter” yang dapat dikategorikan sebagai pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Karena pelanggaran HAM merupakan masalah dalam masyarakat umum, maka hukum pidana mengakomodasinya dalam KUHP.

Menurut pendapat Eddy OS Hiarej, pengajar Fakultas Hukum UGM, pasal pencemaran nama baik tetap dipertahankan di Indonesia, karena tindakan pencemaran nama baik dianggap tidak sesuai dengan tradisi Indonesia yang menjunjung adat dan budaya ketimuran. Sehingga, pencemaran nama baik dianggap sebagai rechtsdelicten (pelanggaran hukum) dan bukan wetdelicten (pelanggaran undang-undang).

Ternyata, pasal pencemaran nama baik tidak hanya berada di Indonesia yang dikatakan menjunjung adat dan budaya ketimuran. Toby Daniel Mendel, pakar perbandingan hukum dari Kanada, mengatakan bahwa pembatasan terhadap kebebasan berbicara diterapkan di semua negara dan telah diakui oleh hukum internasional. Menurutnya, pembatasan tersebut dibuat untuk melindungi keamanan nasional, kepentingan umum, dan reputasi seseorang, sehingga seorang warga negara tidak diperbolehkan membicarakan gosip dan mengeluarkan pernyataan yang keliru.

Namun pemberian sanksi pidana atas perbuatan pencemaran nama baik sudah banyak ditinggalkan di banyak negara-negara demokratis. Selain menghambat kebebasan mengemukakan pendapat, tindakan yang dianggap pencemaran nama baik seringkali hanya merupakan opini yang dihasilkan dari persepsi seseorang atas suatu masalah. Sebagai contoh perbandingan, Amerika Serikat tidak memberikan sanksi pidana atas tindakan yang dianggap sebagai pencemaran nama baik karena dianggap tidak sesuai dengan Amandemen Pertama Konstitusi Amerika Serikat.

Hal tersebut diperkuat dengan keputusan Mahkamah Agung Amerika Serikat dalam kasus koran New York Times versus Sullivan pada tahun 1964, yang menegaskan bahwa pejabat publik hanya dapat meminta pertanggungjawaban atas tindakan seseorang yang dianggap sebagai “pencemaran nama baik” apabila pejabat tersebut mampu membuktikan bahwa tindakan orang tersebut tidak sesuai dengan fakta. Bahkan Belanda sendiri, yang menjadi “nenek moyang” KUHP Indonesia, sudah tidak lagi mencantumkan pasal mengenai pencemaran nama baik dalam KUHP Belanda (Wetboek van Strafrecht).

Ada pro, tentunya ada kontra. Salah seorang wartawan senior Indonesia, Djafar Assegaff justru berpendapat bahwa pasal pencemaran nama baik masih tetap diperlukan untuk menjaga kehormatan dan nama baik tiap anggota masyarakat.

Dalam konteks dunia pers, Assegaff mengatakan bahwa “Setiap wartawan wajib memahami pasal-pasal itu, harus mengerti pranata sosial dan hukum. Pencemaran nama baik merupakan tindakan tidak terpuji dan bukan bagian dari jurnalistik,".

Tetapi saya sebagai penulis berpendapat bahwa pasal mengenai pencemaran nama baik sesungguhnya telah menghambat berjalannya roda demokrasi di dalam suatu negara. Karena kebebasan berpendapat merupakan HAM yang telah dilindungi melalui hukum positif di Indonesia (pasal 23 dan 25, UU 39/1999 tentang HAM), dan dilindungi oleh hukum internasional (pasal 19, Resolusi Majelis Umum PBB mengenai Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia).

Apabila pasal ini masih dipertahankan, kondisi sosial dan kekritisan berpikir masyarakat akan terus dikebiri, dan tentunya pasal ini akan rentan dari pemanfaatan oleh pejabat untuk menjerat individu-individu yang mengkritik dirinya.

Meski demikian, individu yang kritis terhadap permasalahan yang terjadi di dalam masyarakat harus tetap memperhatikan etika dalam mengemukakan pendapat. Karena kebebasan yang diperoleh melalui HAM pun akan tetap dibatasi dengan etika dan hubungan inter-personal yang berlangsung di dalam masyarakat.

Penggunaan etika dalam mengemukakan pendapat tidak akan mengurangi kadar kekritisan dari individu yang mengemukakan pendapat tersebut. Apabila etika dalam mengemukakan pendapat dilakukan secara konsisten oleh setiap individu, tentunya sengketa dalam masyarakat akan semakin dapat ditekan, yang akan berujung pada kedamaian diantara individu yang menjadi anggota masyarakat.

Comments

  1. saya mahasiswa dari Jurusan Hukum
    Artikel yang sangat menarik, bisa buat referensi ni ..
    terimakasih ya infonya :)

    ReplyDelete

Post a Comment