The Lost Symbol (Dan Brown)

Buku ini merupakan novel kelima Dan Brown, dan novel ketiga yang menghadirkan Robert Langdon sebagai karakter utamanya (setelah Angels & Demons, dan The DaVinci Code). Dalam karyanya kali ini, Dan Brown menceritakan bagaimana Robert Langdon kembali harus berurusan dengan perkumpulan kontroversial, lambang-lambang esoterik, dan tentunya karakter psikopat yang terinspirasi oleh sebuah cerita kuno.

Robert Langdon harus memecahkan serangkaian teka-teki dari si psikopat, yang didasarkan pada berbagai ikon Freemason di seputar Washington DC. Freemason sendiri dijadikan sebagai sebuah latar belakang cerita yang cukup kuat, karena sifatnya yang esoterik sekaligus mengundang kontroversi di kalangan masyarakat akibat sifat eksklusif-nya yang sulit ditembus.

Langdon dan seorang rekannya yang bertemu secara tak sengaja, Katherine Solomon, harus berpacu dengan waktu untuk memberikan sesuatu yang dicari oleh si psikopat bernama Mal’akh. Apabila tidak bisa terpenuhi, maka Peter Solomon, rekan Langdon sekaligus saudara laki-laki Katherine akan dibunuh.

Mal’akh menginginkan rahasia terbesar milik kaum Freemason yang menurutnya tersembunyi di salah satu ikon Freemason yang dibangun oleh founding fathers Amerika Serikat (AS) di Washington DC. Tidak jauh dari pengalaman Langdon sebelumnya di Eropa, dirinya harus keluar masuk berbagai bangunan-bangunan yang ternyata memiliki sarat makna, dan juga simbolisme-simbolisme Mason yang tersebar dimana-mana.

Karakter dari cerita kali ini sebenarnya tak jauh berbeda dengan 2 (dua) cerita Langdon sebelumnya. Selalu ada perkumpulan rahasia (meski Freemason dibela dengan sebutan “perkumpulan yang memiliki rahasia”), selalu ada psikopat yang merasa dirinya paling benar dan tak segan untuk melakukan kekerasan untuk memenuhi keinginannya, selalu ada aparat berwenang yang justru menjadi musuh Langdon, dan selalu ada wanita pintar, cantik, yang entah bagaimana turut terlibat masalah bersama Langdon.

Jadi yang membuatnya berbeda hanyalah obyek dan lokasinya saja. Apabila Angels & Demons dan The DaVinci Code mengambil setting di Eropa, maka The Lost Symbol mengambil setting di AS. Apabila Angels & Demons berujung pada simbol sakral Illuminati, dan The DaVinci Code berujung pada Cawan Suci, maka The Lost Symbol berujung pada rahasia besar Freemason.

Saya sendiri sudah bisa menebak akhir dari The Lost Symbol ketika saya sudah mencapai pertengahan buku, termasuk siapa saja karakter yang turut “berkonspirasi” untuk menjebak Langdon. Bukan karena saya hebat menebak, hanya saja gaya penceritaan Dan Brown memang tak jauh berbeda dari satu cerita ke cerita yang lain. Sehingga sangat mudah untuk memahami bagaimana Dan Brown membangun alur cerita sekaligus karakterisasi dari tokoh-tokoh didalamnya.

Akhir cerita yang mudah ditebak memang akan membuat kita malas untuk meneruskannya, namun saya sendiri bertahan untuk menyelesaikan novel ini. Bukan karena ceritanya yang makin menarik, melainkan deskripsi Dan Brown atas berbagai bangunan, ikon, simbol, dan monumen yang ada di AS khususnya Washington DC, yang membuat saya penasaran dan mengkhayal lebih jauh.

Menurut saya, disitulah letak kekuatan novel-novel Dan Brown. Dia mampu meracik hal-hal yang selama ini berada di sekitar masyarakat namun sudah terlanjur terselubung oleh berbagai mitos dan kejadian sehingga menghilangkan makna aslinya.

Selain itu dirinya mengungkapkan berbagai fakta yang selama ini terpinggirkan dari sejarah. Misalnya, deskripsi atas Capitol Building sangatlah menarik dan spesifik, sehingga mengundang pembaca untuk membayangkannya, dan kalau perlu melakukan riset kecil-kecilan untuk membuktikan gambaran dari Dan Brown.

Lalu dia menceritakan bagaimana kawasan AS bagian Timur sesungguhnya akan dinamai seperti wilayah-wilayah legendaris di belahan dunia lain, misalnya Washington DC yang akan dinamakan Roma, Sungai Potomac yang akan dinamakan Sungai Tiber, dan lainnya.

Yang lebih membuat cerita ini mengalir, Dan Brown tidak menuliskan informasi-informasi itu dalam bentuk narasi orang ketiga (yang akan menimbulkan kesan textbook dan terlalu ilmiah), melainkan dibangun melalui dialog-dialog dengan alur mundur yang cukup mengubah suasana cerita.

Tentunya, semua itu diawali dari formula utama Dan Brown, kontroversi. Dirinya berani untuk mengangkat hal-hal yang selama ini menimbulkan pro-kontra di kalangan masyarakat, dan tak jarang membuat pihak-pihak tertentu merasa tersinggung.

Topik yang diangkatnya kali ini pun akan tetap mengundang kontroversi, karena Freemason sudah terlanjur terstigma sebagai organisasi persaudaraan yang ingin membuat adanya sebuah “New World Order” yang lekat dengan interpretasi atas kedatangan Dajjal.

Saya merekomendasikan buku terbaru dari Dan Brown ini untuk mereka yang ingin mengetahui sejarah lain dari AS khususnya wilayah Washington DC, atau mereka yang sekedar ingin mengisi waktu luang dengan cerita yang sedikit berbobot. Namun bagi mereka yang mengharapkan adanya thriller yang menegangkan, jangan terlalu berharap banyak atas buku ini.

Comments

  1. Anonymous5:08 AM

    zachary ternyata anaknya peter!

    ReplyDelete
  2. Anonymous5:09 AM

    mal'akh = zachary

    ReplyDelete

Post a Comment