Menulis: Tips Sederhana


Semenjak saya memutuskan menjadi kuli tinta, banyak rekan atau  junior di kampus dan GMKI bertanya, “Bagaimana sih cara menulis?”, atau juga meminta bantuan, “Ajarin nulis donk.” Pertanyaan dan permintaan itu memang wajar, karena sistem pendidikan Indonesia tidak mendorong siswanya untuk menuangkan pemikiran dalam bentuk tulisan. Kalaupun iya, pasti hanya sekedar formalitas untuk memenuhi syarat administrasi.

Pada kesempatan kali ini, saya mencoba membagikan tips singkat dan sederhana untuk membuat tulisan. Saya sendiri bukan jurnalis sekaliber Goenawan Mohammad ataupun Budiarto Shambazy, yang sudah malang melintang di dunia jurnalistik ketika saya masih bau kencur. Mereka, tentunya, lebih layak dan berkompeten untuk memberikan tips menulis. Tapi, bisa dimaklumi, mereka tidak punya waktu lagi untuk berbagi hal yang remeh-temeh seperti ini.

Daripada menunggu GM dan Budiarto untuk memberikan tips menulis, saya mencoba membagikan pengalaman saya selama hampir empat tahun di dunia jurnalisme, terutama yang telah saya pelajari dari banyak redaktur dan mantan bos, untuk membuat tulisan yang layak dibaca.

Sebelum melangkah lebih jauh, ada beberapa hal yang harus saya konfirmasi. Pertama, saya tidak pernah belajar jurnalistik secara formal. Saya justru berlatar belakang pendidikan hukum. Pendidikan jurnalistik malah saya dapatkan ketika mulai berkecimpung sebagai wartawan.

Kedua, saya tidak bisa menulis fiksi ataupun creative writing. Saya lebih terlatih untuk membuat dan lebih menyukai bentuk tulisan yang hard—seperti tulisan hard news dalam jurnalistik—dan tulisan berbentuk opini. Jarang sekali saya membuat tulisan seperti Catatan Pinggir-nya GM atau jurnalisme sastrawi seperti yang dikembangkan oleh Tempo dan Pantau. Penulisan kreatif seperti cerpen dan novel, menurut saya, ada di level berikutnya.

Nah, sekarang ada beberapa hal yang harus diperhatikan kalau kita memang mau menulis, baik itu untuk keperluan pribadi, akademis, hingga tujuan karir jurnalistik seperti saya ini.

1.        Banyak Membaca
Membaca. Ya, memang terdengar klise. Tapi ini adalah langkah awal untuk memulai penulisan. Bagaimana mungkin kita bisa membuat tulisan, tapi kita sendiri tidak tahu tulisan “yang benar” itu seperti apa? Bahan bacaan tidak perlu yang berat-berat. Kita bisa kesampingkan textbook, novel-novel Pramoedya Ananta Toer, dan jurnal ilmiah.
Bahan bacaan bisa dimulai dari topik yang kita sukai. Kalau memang hobi musik, bacalah majalah atau media yang berhubungan dengan musik. Majalah Rolling Stone Indonesia, bisa menjadi contoh yang cukup bagus. Begitu juga dengan hal-hal lain seperti film (Cinemags atau Movie Monthly), otomotif (tabloid Motor), hingga olahraga (Top Skor atau suplemen olahraga di Koran).
Kalau memang sudah suka politik dan isu-isu “serius” lainnya, koran seperti Kompas, Bisnis Indonesia; majalah seperti Tempo dan Gatra; hingga media online seperti hukumonline.com (promosi dikit :D) dan kompas.com, layak menjadi acuan untuk bahan bacaan.
Dari bacaan yang dilahap sehari-hari itulah, secara tidak sadar, pola pikir kita sudah mulai terbentuk untuk menyusun kata-kata dan kita mulai mengerti bagaimana alur tulisan yang benar. Selain itu, banyaknya bahan bacaan akan membantu menambah perbendaharaan kata. Sehingga, nantinya, tulisan kita tidak membosankan dan enak untuk dibaca.

2.        Kaidah Bahasa
Kaidah bahasa sebenarnya sudah kita dapat semenjak duduk di bangku sekolah dasar. Pelajaran seperti subyek-predikat-obyek-keterangan, ejaan yang disempurnakan (EYD), tanda baca, hingga bagaimana membuat kerangka karangan, sebenarnya menjadi bekal teknis yang cukup untuk memulai sebuah tulisan.
Sungguh disayangkan, memang, ketika pendidikan kita justru melupakan pentingnya membuat tulisan. Pelajaran Bahasa Indonesia hanya sekedar menjadi rutinitas yang membosankan untuk mengingat siapa sastrawan yang masuk dalam angkatan Balai Pustaka, Pujangga Baru, dan Angkatan 45. Saya sendiri merasakan hal yang sama, ketika 12 tahun menempuh pendidikan dari SD hingga SMA, pelajaran bahasa Indonesia tidak sedikitpun menyentuh dunia tulis-menulis.
Dari bahan bacaan yang sudah kita telan, kita bisa mempelajari bagaimana kaidah bahasa digunakan oleh si penulis. Contoh sederhana, bagaimana meletakkan tanda baca koma dan titik, sehingga ide dari kalimat yang kita tulis bisa dimengerti oleh pembaca. Penggunaan tanda baca “alay”, seperti terlalu banyak titik, terlalu banyak koma, hingga pemakaian tanda seru yang tidak pada tempatnya, harus dihindari sebisa mungkin.
EYD juga menjadi perhatian khusus. Misalnya, mana yang benar apakah “mengubah” atau “merubah”? “dramatisir” atau “dramatisasi”? “negoisasi” atau “negosiasi”? Pertanyaan-pertanyaan EYD ini akan bisa dijawab jika kita mempelajari kaidah bahasa, membuka kamus bahasa Indonesia (ada versi online juga: http://pusatbahasa.kemdiknas.go.id/kbbi/), dan melihat penerapannya di bahan bacaan yang kita nikmati.

3.        Pelajari Ragam Tulisan
Setelah mulai membaca dan membekali diri dengan pengetahuan teknis kebahasaan, kita harus mulai memilah jenis-jenis tulisan yang ada. Dalam publikasi media massa, tulisan biasanya terbagi menjadi dua, berita dan opini. Masing-masing memiliki gaya penulisan yang berbeda. Misalnya, berita akan cenderung untuk ditulis dengan format piramida terbalik, yaitu format penulisan dengan menempatkan informasi terpenting di bagian awal tulisan, dan informasi yang bersifat latar belakang di bagian akhir tulisan.
Sedangkan penulisan opini cenderung akan memakai format piramida. Informasi terpenting yaitu analisis dan simpulan ada di bagian akhir tulisan, sedangkan latar belakang ada di awal tulisan. Perlu diperhatikan pula, tulisan dengan jenis opini terdiri dari tiga bagian tulisan, yaitu lead/teras, body/isi tulisan, dan ending/penutup tulisan. Ketiga bagian ini harus ditulis secara runut dan logis, sehingga informasi yang ingin disampaikan bisa dimengerti oleh pembaca.
Bentuk tulisan lain seperti novel, cerpen, tulisan jurnal, juga perlu dipelajari untuk mengetahui perbedaan mendasar di antara berbagai bentuk tulisan.

4.        Mulai dan Latihan
Nah, ini yang sering menjadi masalah. Idealnya, setelah menempuh langkah 1 sampai 3, menulis harusnya tidak menjadi masalah. Tetapi perlu diingat, menulis itu adalah kebiasaan, bukan bakat. Semakin sering latihan menulis, semakin lancar pula kemampuan kita dalam menyusun kata-kata.
Biasanya, kita akan selalu kesulitan untuk memulai kalimat dan paragraf pertama. Tidak perlu kuatir. Ada beberapa hal yang harus kita lakukan dulu. Pertama, tentukan topik yang akan ditulis. Misalnya tentang perkembangan film Indonesia. Kedua, tentukan masalah apa yang akan ditulis. Apakah akan mencermati genre film Indonesia yang begitu-begitu saja, atau justru ingin menyorot film Indonesia yang sudah mulai menarik perhatian dunia internasional.
Setelah dua hal itu dilakukan, mulailah menulis kalimat pertama. Tips yang cukup efektif, jangan takut untuk menuangkan apa yang ada di pikiran. Tulis saja apa yang sedang terlintas, tanpa perlu membuatnya menjadi runut. Ingat, tidak ada tulisan yang sekali jadi.
Ketika ide sudah mulai dituangkan—terlepas apakah sudah runut atau belum—dan kalimat sudah mulai tersusun, jangan berhenti. Terus menulis sampai kehabisan ide. Jika ide sudah habis dan kita yakin tidak ada hal lain yang akan dimasukkan dalam tulisan, ambil waktu sejenak sekitar setengah hingga satu jam.
Jeda ini akan berguna untuk membuat kita menjauhkan diri dari ide yang ada dalam tulisan. Ketika kita kembali lagi dari rehat dan mulai melihat tulisan, maka kita akan menyadari kesalahan yang telah kita buat. Entah itu salah ketik, kalimat yang terlalu panjang, paragraph yang tidak runut, dan ide yang tidak jelas. Di sinilah kita bisa memulai untuk melakukan penyuntingan. Memperbaiki ejaan, memperjelas kalimat, hingga memindahkan paragraf agar tulisan yang sudah dibuat bisa menjadi lebih runut dan logis.
Kalau sudah selesai, jangan berhenti. Mulai lagi membuat tulisan baru dengan topik yang sama sekali berbeda, agar kita semakin terlaltih untuk membuat banyak tulisan.

Selamat menulis!

Tabik!

Comments