Mursala: Benturan Adat dan Modernitas


Hepeng do na mangatur nagara on”. Kutipan yang kurang lebih berarti “uang yang mengatur negara ini”, adalah daya tarik utama bagi saya ketika menyaksikan trailerfilm bertajuk Mursala di laman YouTube. Dari trailer-nya, karya besutan sutradara Viva Westi ini cukup menjanjikan, dengan menampilkan profesi pengacara dan budaya Batak sebagai warna utamanya.

Film ini mengisahkan Anggiat Simbolon—diperankan Rio Dewanto, seorang anak rantau dari kawasan Tapanuli Tengah, yang sedang meniti karir sebagai pengacara di Jakarta. Dalam karirnya yang sedang menanjak ini, Anggiat dipercaya kantornya untuk menjadi leading lawyerdalam kasus pencurian sendal.

Kasus yang ditangani Anggiat ini mendapatkan sorotan publik, karena terdakwanya adalah anak di bawah umur dan korban yang merasa sendalnya dicuri adalah seorang pejabat yang cukup ternama di ibukota—kasus yang serupa dengan perkara AAL, di Palu, Sulawesi Tengah.

Sejak awal proses persidangan, Anggiat bersikukuh bahwa terdakwa yang menjadi kliennya tidak bersalah, meski kuasa hukum pejabat yang merasa menjadi korban sudah berulangkali menawarkan sejumlah uang untuk perdamaian.

Di tengah penanganan kasus pencurian sendal ini, ibunda Anggiat di kampung meminta Anggiat untuk pulang, karena adiknya akan melaksanakan pesta pernikahan. Anggiat akhirnya berangkat ke kampungnya Pulau Mursala—yang diangkat menjadi judul film ini.

Saat berada di kampung, Anggiat akhirnya berhasil untuk reuni dengan dua teman masa kecilnya semasa SMP, Saad Tanjung—diperankan oleh stand-up comedian Mongol—dan Taruli Sinaga—diperankan Titi Rajo Bintang, yang kebetulan berstatus sebagai paribanAnggiat. 

Saat menghadiri pernikahan adiknya, Anggiat dikejutkan oleh kedatangan pasangannya, Clarissa Saragih—diperankan oleh Anna Sinaga, seorang reporter televisi yang telah menjalin hubungan dengan Anggiat selama enam bulan terakhir. Kedatangan Clarissa kemudian dimanfaatkan oleh Anggiat untuk memperkenalkan pasangannya itu kepada ibunya.

Namun, nasib baik tak berpihak pada Anggiat. Ketika mengetahui bahwa Clarissa menyandang marga Saragih, sang ibunda menjelaskan kepada Anggiat bahwa Simbolon dan Saragih tidak bisa kawin-mawin, karena masih terhitung satu keturunan Pomparan ni si Raja Naiambaton (Parna).

Anggiat akhirnya melakukan pertemuan dengan tetua adat di kampungnya, yang kemudian menegaskan bahwa hubungan Anggiat dengan Clarissa tidak bisa dilanjutkan hingga jenjang pernikahan. Salah satu tulang Anggiat menjelaskan, 60 lebih marga yang tergabung dalam parna terhitung sebagai kakak beradik, sehingga tidak bisa saling kawin-mawin.

Setelah pertemuan dengan tetua adat, Anggiat menjadi bimbang apakah akan bersikeras untuk melanjutkan hubungannya dengan Clarissa—dengan risiko dikeluarkan dari adat, atau patuh pada adat istiadat dan perintah leluhur yang sudah dijaga sekian lama. 

Kebimbangan Anggiat ini yang kemudian disorot sutradara untuk menjadi warna utama film Mursala. Apalagi, sang ibunda justru mendorong agar Anggiat menjalin hubungan yang lebih serius dengan Taruli, karena berstatus sebagai pariban, dan akan mudah mendapatkan dukungan dari keluarga besarnya.

Meski trailer Mursala yang sempat disaksikan oleh terlihat cukup menjanjikan, ternyata filmnya sendiri memiliki banyak kekurangan. Pada akhirnya membuat film ini kehilangan moral of the story, yang seharusnya menjadi titik kuat sebuah film berkategori drama.

Kekurangan pertama bisa dirasakan dari lemahnya elaborasi tokoh Anggiat sebagai seorang pengacara yang cukup sukses. Saat menyaksikan trailer Mursala untuk pertama kali yang menampilkan Anggiat memakai toga dan bersidang di pengadilan, saya sedikit banyak berharap agar film ini bisa menjadi salah satu penggagas genre legal thriller di Indonesia. 

Namun, pada akhirnya, status pengacara yang disandang oleh Anggiat terkesan hanya menjadi tempelan semata. Sutradara nampaknya tidak berhasil untuk membangun dialog yang lugas dan berbobot ketika menggambarkan Anggiat sebagai seorang pengacara, baik di ruang pengadilan maupun di kantornya. Bahkan, pengacara senior Elza Syarief, yang berperan sebagai atasan Anggiat dalam film ini, terlihat sangat kaku dalam menyampaikan dialognya—berbanding terbalik ketika dirinya diwawancarai oleh televisi.

Tak hanya itu, sang sutradara juga gagal untuk mengelaborasi peranan Anggiat sebagai pengacara yang menangani kasus di kampungnya, yang melibatkan Taruli dan nelayan lokal dibina oleh LSM bentukan Taruli. Padahal, kasus ini cukup menarik jika diangkat lebih detil, karena menyoroti kelestarian terumbu karang di sekitar Pulau Mursala.

Kelemahan lain bisa dilihat dari kurangnya chemistryantara Rio Dewanto dan Anna Sinaga sebagai Anggiat dan Clarissa. Meski sebenarnya film ini berputar antara “kisah cinta terlarang” antara mereka, tapi kedua aktor ini tidak berhasil untuk membangun sebuah penggambaran yang mampu membawa penonton terbawa dengan kisah mereka. 

Hanya saja, perlu dimaklumi, Anna Sinaga yang memerankan Clarissa bukanlah seorang aktris. Wanita berdarah batak ini justru berprofesi sebagai seorang pengacara yang sempat bekerja di kantor Bonaran Situmeang—yang kebetulan tampil sebagai penjaga pantai dalam film ini. Sehingga tak heran, dialog antara Clarissa dan Anggiat terlihat sangat kaku dan tidak natural.

Kekurangan yang utama film Mursala, menurut saya, adalah benturan antara adat istiadat dan modernitas, yang meski menjadi plot utama, justru tidak digali lebih dalam. Sebagai contoh, perdebatan antara Anggiat dengan tetua adat mengenai Parna hanya ditampilkan sekali saja. Meski Anggiat diperlihatkan berusaha untuk mencari jalan keluar atas masalahnya, hingga bertemu dengan ayah Clarissa, sutradara tidak cukup intens untuk memberikan deskripsi konflik adat istiadat versus modernitas.

Dari kekurangan ini, terlihat bahwa sutradara Viva Westi berupaya untuk memasukkan berbagai informasi, cerita, dan konflik dalam film ini. Sayangnya, ia gagal untuk merajutnya dengan lebih baik untuk menghasilkan alur penceritaan yang menarik dan terarah. Padahal, seandainya Viva mau mengambil salah satu masalah saja—entah itu pencurian sendal atau masalah nelayan lokal—bisa jadi storytelling yang dibangun akan lebih baik.

Selain kekurangan di atas, ada satu hal kecil yang cukup mengganggu. Ketika adegan Taruli menjelaskan sejarah air terjun Mursala kepada Clarissa, dialog yang tadinya cukup informatif dirusak oleh selipan sponsor. Clarissa menyebutkan nama salah satu operator selular di Indonesia, yang menurut saya bukan pada tempatnya untuk menyebutkan sponsor dengan seeksplisit itu.

Acungan jempol justru perlu diberikan kepada Reiny Christiana sebagai Inang Romauli—ibunda Anggiat, dan Tio Pakusadewo sebagai bapaudaAnggiat. Reiny berhasil membangun karakter khas tokoh perempuan dewasa Batak, yang bekerja keras untuk pendidikan anaknya dan sangat menyayangi Anggiat—bahkan cenderung posesif—namun tetap berupaya untuk menuruti adat istiadat Batak. Tio Pakusadewo, yang notabene berdarah Jawa, juga menampilkan akting yang bagus dengan tak terlihat canggung untuk berbicara dengan logat Tapanuli. Ia juga berhasil memainkan peran bapauda yang berfungsi sebagai substitusi ayah Anggiat yang telah meninggal, dengan memberikan nasihat-nasihat untuk Anggiat.

Terlepas dari banyaknya kekurangan di sana-sini, film Mursala tetap menjadi suguhan menarik untuk ditonton. Walau tidak mungkin dikategorikan dalam genre legal thriller, semoga saja film ini bisa menjadi inisiator untuk sineas Indonesia lain yang ingin mengangkat profesi praktisi hukum ke layar lebar. Tak hanya itu, film ini menunjukkan beragamnya budaya Indonesia, keindahan alam yang dimiliki Nusantara, hingga masalah adat yang biasa ditemui di berbagai suku di republik ini.

Selamat menonton!

(sudah dipublikasikan dengan sedikit proses penyuntingan di hukumonline.com)

Comments