State of Play: Benturan Dua Dunia

Sumber: Wikipedia
Film yang mengisahkan tentang terungkapnya sebuah skandal oleh media memang selalu membuat sensasi tersendiri. Sebut saja, All the President’s Men, film tentang dua jurnalis The Washington Post, Bob Woodward dan Carl Bernstein, yang berhasil menyibak tabir skandal Watergatedan membuat Presiden Richard Nixon harus mengundurkan diri dari posisinya.

Contoh lain adalah The Pelican Brief, film adaptasi dari novel John Grisham berjudul sama, tentang tokoh fiktif Gray Grantham, seorang jurnalis yang berhasil mengungkap skandal pembunuhan dua hakim Mahkamah Agung Amerika Serikat.

Dua film tersebut hanyalah sedikit contoh dari petualangan saya menyaksikan film tentang jurnalis sebagai tokoh utamanya. Hingga beberapa hari yang lalu, petualangan saya berlanjut ketika saya tak sengaja mengakses blog yang merekomendasikan State of Playsebagai salah satu film yang layak tonton untuk para pekerja media.

Bagaikan mendapat durian runtuh, ternyata saya menemukan salinan film ini di external harddiskyang memang dikhususkan untuk menyimpan berbagai tayangan hasil unduhan—ilegal tentunya. Tak pelak, film ini langsung menempati urutan pertama dari daftar film yang harus saya saksikan dalam waktu dekat.

Baru minggu lalu, saya akhirnya sempat menyaksikan film ini dari awal hingga selesai. Pada saat film ini memasuki adegan terakhirnya, saya hanya bisa berkata, “this is a damn good film.” Penuturan kisah yang cukup konteksual, penampilan Russell Crowe yang mumpuni, kisah mengenai jurnalisme, dan tentunya racikan thriller ala Hollywood yang membuat kita enggan beranjak, menjadikan film ini sebuah paket komplit, baik sebagai hiburan maupun sarana edukasi.

Kekomplitan film ini dapat disimak dari penuturan tentang konflik antara dua dunia yang sedang atau selalu berbenturan satu sama lain. Saya sendiri bisa mengidentifikasi dua hal mengenai konflik ini: pertarungan antara jurnalisme cetak dan online, serta pertarungan antara media dan pihak yang terlibat dalam skandal

Benturan Dua Dunia: Jurnalisme Cetak dan Online
Di tengah penetrasi internet yang semakin tinggi, media cetak, terutama koran, tak lagi menjadi pilihan utama bagi publik untuk mengetahui peristiwa terkini ataupun kejadian yang sedang mendapatkan sorotan. Media online yang menjalankan tugas jurnalistiknya melalui internet, menjadi pilihan utama bagi mereka yang memiliki akses terhadap teknologi ini, khususnya di kota-kota besar.

Bukti nyata dapat dilihat dari bangkrutnya berbagai koran di Amerika Serikat, termasuk koran-koran mapan yang sudah berumur lebih dari satu abad. Sebut saja The Rocky Mountain News, Los Angeles Times, bahkan The New York Times pun harus mengalami kesulitan di era internet ini. Mereka tergerus dengan zaman teknologi informasi yang mengutamakan kecepatan, dan secara otomatis menghancurkan koran yang tidak mampu berpacu dengan waktu, karena keterbatasan kecepatan mereka dalam menyampaikan berita.

Tak hanya itu, kebutuhan publik untuk mengetahui informasi secara ringkas, padat, dan jelas, telah menjadikan media online unggul jauh dari koran. Tentunya, hal ini disebabkan dari karakter koran itu sendiri yang cenderung menyajikan berita dengan informasi yang menyeluruh, serta data yang akurat. Akibatnya, koran lebih sering menyajikan berita yang relatif panjang, dan menyulitkan masyarakat yang menginginkan berita ringkas, padat, dan jelas.

Bahkan, tuduhan miring yang menyudutkan media online hanya terfokus pada berita-berita sensasional semata, justru menjadi daya tarik tersendiri bagi publik. Pada akhirnya, koran yang cenderung menyajikan berita-berita melalui verifikasi dan menghindari sensasionalisme semakin ditinggalkan.

Meski tak menjadi sorotan utama dalam State of Play, pertarungan dua dunia antara jurnalisme cetak yang diwakili oleh koran dan jurnalisme online, mampu digambarkan dengan apik. Cal McAffrey, yang diperankan Russell Crowe, dalam film ini adalah representasi dari “dunia tua” yaitu koran. Sementara, Della Frye, yang diperankan oleh Rachel McAdams, adalah perwakilan dari jurnalisme online.

McAffrey sulit beradaptasi dengan cepatnya perubahan dalam dunia jurnalisme, sementara Frye enggan untuk mengikuti kebiasaan-kebiasaan lama dari jurnalis dedengkot semaca McAffrey. McAffrey mementingkan kedalaman reportase, verifikasi, dan menolak berita-berita sensasional, sementara Frye justru menganggap skandal sensasional harus lekas diberitakan melalui internet, tanpa perlu memberikan laporan yang lebih mendalam.

McAffrey juga harus menghadapi sulitnya membuat berita di koran yang mampu meningkatkan oplah—yang berarti keuntungan finansial—sementara media online sanggup menyajikan berita apapun sambil mengeruk keuntungan finansial yang besar.

Yang menarik dari film ini adalah bagaimana McAffrey, di tengah ketidaksukaannya terhadap jurnalis online, mau untuk membagi pengetahuan dan kemampuan yang dia dapatkan selama bergelut di dunia cetak kepada Frye. McAffrey menuntun Frye untuk membuat reportase mendalam, yang seringkali dilupakan oleh jurnalis online. Frye juga tak enggan untuk mengikuti arahan ini, meski harus menghadapi berbagai penolakan dari narasumber, hingga kebuntuan dalam mencari informasi.

Konflik antara cetak dan online, sebagaimana yang digambarkan oleh McAffrey dan Frye adalah masalah riil yang harus dihadapi oleh jurnalisme pada saat ini. Saya sendiri sebagai jurnalis yang dibesarkan dengan internet, percaya bahwa media online di Indonesia akan memenangkan pertarungan ini, meski hingga saat ini media cetak masih tumbuh dan berkembang karena penetrasi internet yang belum merata.

Namun, keberpihakan saya kepada media online tidak berarti saya mengesampingkan nilai-nilai jurnalisme yang dibangun oleh media cetak. Disiplin verifikasi, menolak sensasionalisme, tanggung jawab kepada publik, cover both sides, dan edukasi adalah nilai-nilai yang tetap harus dipertahankan dalam dunia jurnalisme.

Tanggung jawab yang dipikul oleh media online tetap sama besar dengan media cetak. Karena itu, baik jurnalis online maupun cetak wajib untuk terus memegang teguh nilai-nilai jurnalistiknya.

Nilai-nilai ini sewajarnya bisa diadaptasi oleh semua jurnalis online, sebagaimana Frye yang mau untuk belajar melakukan reportase dari McAffrey. Namun kuli tinta yang hidup dan bernafas dari media cetak harus mampu beradaptasi dengan perkembangan teknologi, sebagaimana McAffrey berusaha berkompromi dengan Frye, alih-alih menjadikannya sebagai musuh yang harus dihilangkan.

Benturan Dua Dunia: Media dan Pihak Dalam Skandal
Skandal memang menjadi bahan yang menarik untuk disajikan dalam berita. Bagaimanapun, masyarakat terdiri dari orang-orang yang kepo atau penasaran tentang suatu skandal—entah itu politik, hiburan, ekonomi, atau isu lain. Skandal tentu berarti ada permasalahan yang sedang ditutup-tutupi oleh pihak yang berkepentingan. Skandal tentu berarti ada keengganan dari pihak yang terlibat untuk membiarkan publik mengetahuinya.

Di sinilah media dan praktisi jurnalisme mulai memainkan perannya untuk membongkar sebuah skandal. Apalagi ketika skandal yang dimaksud melibatkan uang dalam jumlah yang besar dan mengikutsertakan pejabat publik yang seharusnya mengabdi pada masyarakat. Dengan upayanya ini, media dapat menunjukkan tanggung jawabnya kepada masyarakat untuk menyampaikan kebenaran,bukan sensasionalisme.

McAffrey menunjukkan peranannya sebagai jurnalis dalam menjalankan tanggung jawab media kepada publik. Dia tidak menunjukkan minat pada sensasionalisme, namun lebih memilih untuk menyampaikan berita yang penting diketahui masyarakat. Dia tidak menyampaikan berita yang sekedar meningkatkan oplah korannya, namun lebih memilih membongkar kedok kontraktor militer, yang lebih mementingkan keuntungan korporasi ketimbang kepentingan publik.

McAffrey tidak mengenal kata berhenti untuk mendapatkan informasi dan narasumber. Baginya, bantingan pintu dari narasumber, penggalian informasi tanpa mengenal waktu, termasuk mempertaruhkan nyawanya ketika ditodongkan senjata, adalah bagian dari tanggung jawabnya untuk menyampaikan kebenaran kepada publik.

McAffrey mampu read between the lines atas skandal yang sedang diusutnya. Baginya, ada keterkaitan antara dua kejadian atau lebih, yang akan menggiringnya kepada kebenaran. Pernyataan pihak-pihak terkait tidak hanya sekedar dipahami sebagai pernyataan semata, namun sebagai petunjuk untuk beralih mengusut informasi selanjutnya.

Mungkin hanya segelintir media di Indonesia yang memiliki jurnalis berkarakter seperti McAffrey. Di tengah himpitan kebutuhan hidup yang semakin mencekik, rendahnya bayaran yang diterima oleh pekerja media, hingga jam kerja yang tidak memungkinkan untuk mendapatkan penghasilan tambahan, telah membuat kuli tinta Indonesia absen melakukan tugas jurnalistiknya secara penuh.

Ujung-ujungnya, sebagian besar jurnalis di Indonesia tak ubahnya seperti stenografer, yang hanya menyampaikan informasi berdasarkan konferensi pers, seminar, dan doorstop. Hanya sedikit jurnalis Indonesia yang mampu read between the lines dan memberikan respon yang cukup terhadap sebuah isu. Tanggung jawabnya kepada publik akhirnya dikesampingkan karena berbagai alasan.

Jurnalis di Indonesia—termasuk saya—harus banyak belajar dari McAffrey. Baginya, penyampaian kebenaran kepada publik atas sebuah skandal adalah sebuah tanggung jawab yang harus dipenuhi oleh setiap jurnalis. Pekerja media dan perusahaan media itu sendiri seharusnya tidak boleh tunduk hanya kepada pendapatan iklan, oplah, ataupun pageviewssemata, karena publik menginginkan adanya penyingkapan atas kebenaran yang ditutup-tutupi.

Tak mudah, memang, ketika ingin mengadopsi ketelatenan dan ketekunan McAffrey sebagai seorang jurnalis. Namun paling tidak, jurnalis Indonesia bisa menerapkan sikapnya yang menghindari sensasionalisme dan selalu bersikap skeptis atas apa yang terjadi. Langkah ini, separah-parahnya, menjadi upaya awal bagi jurnalis Indonesia untuk berhenti menjadi stenografer dan memulai tugas sebenarnya sebagai seorang jurnalis.

Sutradara: Kevin Macdonald | Pemeran: Russell Crowe, Ben Affleck, Rachel McAdams, Helen Mirren | Rilis: 17 April 2009 (Amerika Serikat) | Durasi: 128 Menit

Comments